Senin, April 28, 2008

Pemikiran & Akhlak Salafi

Pemikiran yang kita dambakan itu juga bercorak "salafi". Yang dimaksud dengan "Pemikiran Salafi" di sini ialah kerangka berpikir (manhaj fikri) yang tercermin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan mempedomani hidayah Al-Qur’an dan tuntunan Nabi SAW.

KRITERIA MANHAJ SALAFI YANG BENAR

Yaitu suatu manhaj yang secara global berpijak pada prinsip berikut :

1. Berpegang pada nash-nash yang ma’shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.

2. Mengembalikan masalah-masalah "mutasyabihat" (yang kurang jelas) kepada masalah "muhkamat" (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath’i.

3. Memahami kasus-kasus furu’ (kecil) dan juz’i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental.

4. Menyerukan "Ijtihad" dan pembaruan. Memerangi "Taqlid" dan kebekuan.

5. Mengajak untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.

6. Dalam masalah fiqh, berorientasi pada "kemudahan" bukan "mempersulit".

7. Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.

8. Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.

9. Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitasnya.

10. Menekankan sikap "ittiba’" (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat "ikhtira’" (kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.

Inilah inti "manhaj salafi" yang merupakan khas mereka. Dengan manhaj inilah dibinanya generasi Islam terbaik, dari segi teori dan praktek. Sehingga mereka mendapat pujian langsung dari Allah di dalam Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah berhasil mentransfer Al-Qur’an kepada generasi sesudah mereka. Menghafal Sunnah. Mempelopori berbagai kemenangan (futuh). Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan). Mendirikan "negara ilmu dan Iman". Membangun peradaban robbani yang manusiawi, bermoral dan mendunia. Sampai sekarang masih tercatat dalam sejarah.

CITRA "SALAFIAH" DIRUSAK OLEH PIHAK YANG PRO DAN KONTRA

Istilah "Salafiah" telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap "salafiah". Orang-orang yang pro-salafiah – baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian, atau yang sebagian besar mereka benar-benar salafiyah – telah membatasinya dalam skop formalitas dan kontroversial saja, seperti masalah-masalah tertentu dalam Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh atau Ilmu Tasawuf. Mereka sangat keras dan garang terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil dan tidak prinsipil ini. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahwa manhaj Salaf adalah metoda "debat" dan "polemik", bukan manhaj konstruktif dan praktis. Dan juga mengesankan bahwa yang dimaksud dengan "Salafiah" ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prinsipil. Mempermasalahkan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang disepakati. Mementingkan formalitas dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.

Sedangkan pihak yang kontra-salafiah menuduh faham ini "terbelakang", senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah menatap ke depan. Faham Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa depan. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain. Salafiah identik dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderat dan pertengahan.

Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merusak citra salafiah yang hakiki dan penyeru-penyerunya yang asli. Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan "salafiah" dan membelanya mati-matian pda masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang yang paling pantas mewakili gerakan"pembaruan Islam" pada masa mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam.

Mereka telah menumpas faham "taqlid", "fanatisme madzhab" fiqh dan ilmu kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di samping kegarangan mereka dalam membasmi "ashobiyah madzhabiyah" ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah "Raf’ul – malaam ‘anil – A’immatil A’lam" karya Ibnu Taimiyah.

Demikian gencar serangan mereka terhadap "tasawuf" karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab "Al-Hulul Wal-Ittihad" (penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan "tasawuf" untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari "Majmu’ Fatawa" karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah "Madarijus Salikin syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in", dalam tiga jilid.

MENGIKUT MANHAJ SALAF BUKAN SEKEDAR UCAPAN MEREKA

Yang pelu saya tekankan di sini, mengikut manhaj salaf, tidaklah berarti sekedar ucapan-ucapan mereka dalam masalah-masalah kecil tertentu. Adalah suatu hal y ang mungkin terjadi, anda mengambil pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz’i (kecil), namun pada hakikatnya anda meninggalkan manhaj mereka yang universal, integral dan seimbang. Sebagaimana juga mungkin, anda memegang teguh manhaj mereka yang kulli (universal), jiwa dan tujuan-tujuannya, walaupun anda menyalahi sebagian pendapat dan ijtihad mereka.

Inilah sikap saya pribadi terhadap kedua Imam tersebut, yakni Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qoyyim. Saya sangat menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya. Namun, ini tidak berarti bahwa saya harus mengambil semua pendapat mereka. Jika saya melakukan hal itu berarti saya telah terperangkap dalam "taqlid" yang baru. Dan berarti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan perjuangkan sehingga mereka disiksa karenanya. Yaitu manhaj "nalar" dan "mengikuti dalil". Melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan memandang orangnya. Apa artinya anda protes orang lain mengikut (taqlid) Imam Abu Hanifah atau Imam Malik, jika anda sendiri taqlid kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim

Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak kalah penting dengan sisi pertama. Sering terlupakan sisi Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata: "Aku melewati hari-hari dalam hidupku dimana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan, pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia".

Di dalam sel penjara dan penyiksaannya, beliau pernah mengatakan: "Apa yang hendak dilakukan musuh terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid".

Beliau adalah seorang laki-laki robbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka.

Namun, orang seringkali melupakan, sisi "dakwah" dan "jihad" dalam kehidupan dua Imam tersebut. Imam Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan sebagai penggerak. Kehidupan dua tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa kali. Akhirnya Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah makna "Salafiah" yang sesungguhnya.

Bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol mendakwahkan "salafiah", dan paling gigih mempertahankannya lewat artikel, kitab karangan dan majalah pembawa missi "salafiah", ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red majalah "Al-Manar’ yang selama kurun waktu tiga puluh tahun lebih membawa "bendera" salafiah ini, menulis Tafsir "Al-Manar" dan dimuat dalam majalah yang sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.

Rasyid Ridha adalah seorang "pembaharu" (mujaddid) Islam pada masanya. Barangsiapa membaca "tafsir"nya, sperti : "Al-Wahyu Al-Muhammadi", "Yusrul-Islam", "Nida’ Lil-Jins Al-Lathief", "Al-Khilafah", "Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid" dan sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa pemikiran tokoh yang satu ini benar-benar merupakan "Manar" (menara) yang memberi petunjuk dalam perjalanan Islam di masa modern. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi pemikiran "salafiah"nya.

Beliaulah yang merumuskan sebuah kaidah "emas" yang terkenal dan belakangan dilanjutkan Imam Hasan Al-Banna. Yaitu kaidah : "Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat."

Betapa indahnya kaidah ini jika dipahami dan diterapkan oleh mereka yang meng-klaim dirinya sebagai "pengikut Salaf". disalin dari buku "Aulawiyaat Al Harokah Al Islamiyah fil Marhalah Al Qodimah" karya Dr.Yusuf Al Qordhowi, edisi terjemahan Penerbit Usamah Press

AKU BUKANLAH JUFAT DAN GHULLAT SAYYID QUTHB




Buku kecil itu terjejer rapih di alas yang digelar oleh pedagang di trotoar seberang jalan Kedutaan Besar (kedubes) Amerika Serikat (AS). Beberapa saat kemudian buku seharga
lima ribu perak kini telah berpindah tangan. Dan siap untuk saya baca.

Sempat kulirik beberapa aparat kepolisian mengambil buku itu. Entah mereka cuma melihat-lihat saja atau membelinya karena segera kutinggalkan tempat itu untuk mencari posisi yang strategis menanti kedatangan rombongan besar pendemo yang sedang bergerak dari Bunderan Hotel Indonesia menuju kedubes.

Hari itu
massa dari Partai Keadilan Sejahtera mengadakan demo besar-besaran sebagai bentuk solidaritas terhadap perjuangan bangsa Palestina menghadapi aksi boikot Amerika Serikat dan sekutunya yang menyetop bantuan dananya. Slogan yang dikumandangkan Organisasi Konferensi Islam One Man One Dollar, To Save Palestina menjadi tema sentral dalam kegiatan akbar ini.

Kali ini, saya bersama rombongan kecil dari
Bogor, menyempatkan diri untuk berpartisipasi sebagai wujud kecil dari ukhuwah lintas bangsa dan negara. Karena terlambat berangkat, kami putuskan untuk langsung menuju kedubes AS. Dari informasi yang diperoleh tempat itu menjadi titik terakhir dari aksi ini.

Belumlah begitu ramai ketika kami sampai di
sana. Namun banyak aparat kepolisian yang sudah berjaga-jaga di sekitar kedubes. Dan sudah dipastikan banyak pula pedagang yang menggelar beraneka ragam macam barang dagangan. Mulai dari sekadar minuman penghilang haus dan dahaga hingga pernak-pernik, aksesoris, jilbab, dan pakaian.

Sembari menunggu itulah saya menyempatkan diri untuk melihat-lihat keramaian kecil di sekitar. Sampai akhirnya saya menemukan buku kecil itu, lalu menjadi barang kedua yang saya beli setelah sebuah kaset muhasabah jadul berjudul Rihlatulillah.

Buku saku berkaver hitam ini berjudul Manhaj Harakah & Dakwah Menurut Sayyid Quthb. Judul dalam bahasa aslinya adalah Manhaj Sayyid Quthb Fid Da'wah. Ditulis oleh Jamaluddin Syabib-ia memperoleh gelar tertinggi dengan nilai Cum Laude pada perguruan Tinggi Dakwah Islamiyyah Madinnah Al Munawarrah Saudi Arabia. Dan diterjemahkan oleh Aminudin Khozin, alumni Pondok Moderen Gontor, Ponorogo dan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.

Buku yang pertama kali diterbitkan oleh Pilar Press di tahun 2001 ini menarik perhatian saya karena di dalamnya dijelaskan apa dan bagaimana manhaj dakwah Islam menurut Sayyid Quthb, dasar-dasar, keutamaan, pilar-pilar, dan dampak-dampak manhajnya baik dalam pergumulan pemikiran keislaman dan dalam dunia dakwah islamiyyah. Pelan-pelan saya baca buku itu dan berusaha untuk memahami apa yang ingin disampaikan oleh Sayyid Quthb dengan manhaj dakwahnya itu.

Baru pertama kali saya memiliki buku yang benar-benar dari awal sampai akhir memuat buah pikirannya. Di rumah tidak ada satu pun buku yang saya miliki membahas tentang Sayyid Quthb. Kalaupun ada itu pun hanya memuat sebagian kecil tentang pemikirannya, biografinya, dan kisah-kisah di penjara yang dialaminya.

Hatta buku sekaliber Ma'alim fith-thariq dan sefenomenal Fii Dzilaalil-Qur'an yang ditulis oleh Sayyid Quthb-keduanya bisa dikatakan sebagai buku referensi utama bagi para aktivis pergerakan-sampai detik ini pun belum saya punyai.

Walaupun ada keinginan kuat untuk membelinya pada saat terjemahan Fii Dzilaalil-Qur'an ini pertama kali muncul, namun tidak sampai menggerakkan hati saya untuk membeli dan memilikinya. Bahkan di saat Wakil Presiden Republik ini pernah memerintahkan aparatnya untuk meneliti buku-buku yang ditulis oleh Sayyid Quthb-karena menurut dia menjadi pemicu pemikiran radikal para pengebom Bali dan Kedubes Australia-tidak membuat saya tergugah untuk mendalami lebih lanjut apa yang disebarkan oleh Sayyid Quthb melalui buah pemikirannya itu.

Yang saya kenal darinya pun sebatas riwayat hidupnya belaka. Sebagai seorang pemikir kedua setelah Hasan AlBanna pada jama'ah pergerakan terbesar di Mesir yakni Ikhwanul Muslimin. Sebagai seorang yang dituduh membuat makar oleh Jamal Abdun Nashir-seorang yang diterima oleh Ikhwanul Muslimin sebagai bagian dari jama'ah kemudian membelot hingga sampai pada tindakan menawan, menyiksa, membantai, dan menggantung para anggota jama'ah ini.

Sayyid Quthb yang saya tahu pun hanya sekadar sesosok ringkih yang dibawa ke tiang gantungan sebelum terbit fajar hari Senin, 29 Agustus 1966. Namun walaupun jasadnya telah menjadi tanah namun pemikirannya tetap hidup hingga kini dan menyebar ke belahan dunia lain. Membuatnya sebagai ikon penentangan terhadap ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan. Dan bersamaan dengan itu pula dijadikan sansak caci maki pada dirinya dari segolongan lain yang dialamatkan juga kepada jama'ah yang membesarkannya.

Saya anggap hal itu sebagai suatu kewajaran. Hatta seorang Nabi Besar Muhammad saw sebagai penghulu dari umat ini pun tidak lepas dari orang-orang yang mencintainya dengan sepenuh kasih sayang dan orang-orang yang menghinanya sewaktu ia masih hidup hingga 14 abad kemudian setelah kematiannya-yang terbaru adalah karikatur penghinaan dirinya yang dimuat oleh media Denmark. Jadi biasa sajalah.

Sampai suatu hari saya menemukan sebuah situs di internet, yang secara detail membahas tentang bagaimana supaya ummat ini kembali kepada aqidah yang lurus sesuai dengan pemahaman ahlussunah wal jama'ah. Tapi dalam situs tersebut juga terdapat banyak perkataan caci maki dan membid'ahkan pada banyak nama. Bahkan yang mencolok-karena diletakkan di halaman depan-mereka membuat sebuah artikel yang khusus memuat kesalahan-kesalahan dari Sayyid Quthb. "Apa pula ini?" pertanyaan itu menggantung sampai akhirnya saya menyelesaikan bacaan itu.

Saya merenung, dan saya baru teringat bahwa saya mempunyai sebuah buku yang membahas tentang hal ini. Buku yang ditulis oleh Jasim Muhalhil dan saya beli di tahun 1997 ini berjudul Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban, Tuduhan, dan Harapan. Memberikan penjelasan detil terhadap tuduhan-tuduhan yang ditudingkan kepada Jama'ah Ikhwanul Muslimin dan khususnya kepada Sayyid Quthb.

Buku lain dengan tema yang hampir sama pun telah saya punyai di tahun 2003. Kali ini ditulis oleh penulis lokal bernama Farid Nu'man. Buku ini berjudul Al Ikhwanul Muslimun Anugerah Allah yang Terzalimi: Sebuah koreksi Bijak dan Tuntas atas Tuduhan, Fitnah, dan Celaan tak Pantas Terhadap Manhaj dan Tokoh-tokohnya.

Setelah saya baca dua buku tersebut, semua itu ternyata tuduhan-tuduhan lawas dan bukan sesuatu yang baru. Yang memang sudah berkembang sejak dulu dan tidak bermulai dari sini. Mulai tuduhan ia dianggap sebagai seorang Mu'tazilah, Wihdatul Wujud, Asy'ariyyah, mengafirkan kaum muslimin, mencela Mu'awiyyah. 'Amr bin 'Ash, dan 'Utsman bin 'Affan, serta masih banyak lagi tuduhan yang lainnya.

Walaupun tidak membacanya dengan pelan-pelan dan teliti, saya merasakan cukup dengan segala jawaban yang diberikan dalam kedua buku itu. Tapi sudah membuat kepenasaran saya terobati. Sampai akhirnya.

Pada suatu hari saya bergabung dan terlibat dalam suatu forum diskusi di sebuah situs intranet di kantor kami yang tersebar di pelosok negeri ini. Dan saya terkejut. Baru kali inilah dalam seumur hidup saya, saya menemukan sebuah komunitas yang menjadi penyalur dan corong suara dari situs internet yang telah saya jelaskan di awal-karena sebelumnya dalam kehidupan kampus dan keseharian saya di masyarakat tidak pernah menjumpai dan bergaul secara langsung dengan mereka.

Keterkejutan saya adalah dengan kegarangan mereka dalam tuduhan, hinaan, dan celaan yang dilontarkan kepada siapa saja yang tidak sepaham dan tidak sependapat dengan pandangan mereka dan para masyaikh mereka dalam keberislaman. Apalagi pandangan mereka terhadap jama'ah pergerakan, Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Yusuf Qaradhawy. Bisa dikatakan setiap hari tidak ada yang terlewatkan dengan caci maki terhadapnya.

Tentunya saya sebagai newbie (pendatang baru) dalam forum tersebut dan melihat terlalu berlebihannya mereka saya merasa terpanggil untuk membalas setiap tuduhan dan celaan itu. Akhirnya saya pun terlibat dalam pertarungan argumen dengan mereka.

Berhari-hari saya ikut serta dalam perdebatan itu. Hingga saya menemukan kesadaran adanya kesia-siaan, kekerasan hati, berhentinya amal, jumud dalam tsaqofah, pengenalan lebih dalam dan pemahaman terhadap karakter mereka. Bahkan bisa dikatakan lengkap. Runut sedari awal mereka eksis bermula di gurun Nejd.

Setelah itu saya cukup diam. Berusaha meredam hawa nafsu dalam setiap perkataan. Karena terhadap mereka tetaplah ada hak-hak yang wajib ditunaikan oleh saya sebagai saudara dalam aqidah yang kokoh ini.

Bahkan dengan diamnya saya ini, membuat tekad saya bertambah untuk membeli buku Ma'alim Fith-Thoriq atau pun Fii Dzilaalil-Qur'an. Dan memberikan sebuah kesempatan emas kepada saya membaca lebih teliti dan mempelajari lebih lanjut tokoh Ikhwanul Muslimin yang paling dibenci oleh mereka, Sayyid Quthb.

Biografinya saya baca kembali pelan-pelan di suatu malam. Perjalanan hidupnya yang ditulis dalam buku: Mereka yang Telah Pergi (ditulis oleh Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil) menurut saya belumlah memuaskan rasa keingintahuan saya terhadap dirinya. Namun mampu membuat mata dan hati ini berbening kaca dan mengharu biru. Apalagi di
sana ada visualisasi dirinya dengan didampingi dua pengawal menuju tiang gantungan. Saya berhenti cukup lama di halaman tersebut, merenungi detik-detik mendebarkan yang akan memisahkan dunia yang telah membuatnya terzalimi dengan pertemuannya kepada Sang Pemilik Jiwanya.

Ada ketegaran dan kemuliaan diri dalam tubuh tua dan kurusnya. Tali gantungan pun dengan Izin Allah tak mampu membelenggu dan mengubur pemikirannya bersama jasadnya di dalam tanah sedalam-dalamnya. Bahkan akhlak dan izzah-nya di tiang gantungan itu mampu menjadi jalan turunnya hidayah Allah bagi dua algojo yang mengeksekusinya. Subhanallah.Semoga engkau menjadi syahid, ya akhi.

Sebuah syair yang dibuatnya di balik jeruji penjara berjudul akhi menggema di dunia Arab hingga penyair Arab ternama dari Yordania dan Irak membuat syair balasannya. Begitu pula malam itu, setelah membacanya saya pun membuat syair sebagai balasannya:

Memoar Agustus 1966

Saudaraku,

pada baju penjara dan kopiah putih lusuh

yang kau pakai pada hari itu

pada tubuh kurus

yang menopang seonggok jiwa lurusmu

pada setiap langkah tegar

yang kau gerakkan dari kakimu

menuju tiang gantungan

di apit dua algojo

dengan tali besar menghias di leher

lalu jenak batas memisahkan

sungguh

ada jejak tertinggal bagi dunia

bagi manusia

untuk bernaung di bawah KalamNya.

***



Tapi saya menyadari sesungguhnya ia adalah manusia biasa, tak luput dari kelalaian dan kesalahan. Dan sebagaimana kaidah yang berlaku umum orang baik adalah orang yg kebaikannya jauh lebih banyak dari kesalahannya. Sungguh ia adalah orang yang baik. Tak pantaslah ia dicaci maki dan di hina dengan serendah-rendahnya dan sejelek-jeleknya julukan.

Cukuplah saya mengambil apa yang dikutip oleh Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil dari Dr. Ahmad Abdul Hamid Ghurab: " Kita tidak mengatakan Sayyid Quthb orang maksum. Begitu juga ulama dan da'i lain. Setiap orang perkataannya boleh diambil atau ditolak kecuali Nabi saw yang maksum. Kita tidak mengultuskan Asy-Syahid Sayyid Quthb, tapi semata-mata memuliakan dan memenuhi hak-haknya. Kita tidak boleh mendiskreditkan dan menghujatnya. Alangkah celakanya umat yang tidak tahu hak-hak ulama yang berjuang dan syuhada yang telah berjihad. Allah berfirman tentang mereka, "dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka." (Muhammad:4)".

Atau seperti yang dikatakan oleh Jasim Muhalhil: "Selain itu kami ingin menegaskan kepada kaum jufat (penghujat) bahwa serendah-rendah apapun Anda mencela Sayyid dan karya-karyanya, semua itu tidak akan mengubah kedudukan beliau yang telah terlanjur istimewa di dada mayoritas umat. Tidak akan ada yang mengingkari beliau kecuali orang-orang yang buta mata hatinya."

Lebih lanjut ia mengatakan: "Adapun bagi kaum ghullat (pemuja) Sayyid, setinggi apapun Anda menyanjung-nyanjung Sayyid bahkan hingga ke langit tujuh tidaklah mengubah kedudukan Anda dan tidak pula membuat orang lupa terhadap kekeliruan Asy-Syahid Sayyid Quthb seperti apa yang telah diteliti para muhaqqiq. Itulah manhaj yang seimbang dalam menilai kekeliruan dan kebaikan manusia, yaitu manhaj wasathiyah (pertengahan). Semoga Allah Swt mengampuni dosa Sayyid Quthb dan memberikan petunjuk bagi kita yang hidup untuk selalu berada dalam jalan yang haq dan ridha-Nya."

***

Belumlah sampai setengah saya membaca buku kecil itu, tiba-tiba terdengar suara dan derap dari kejauhan. Rupanya rombongan besar pendemo itu mulai mendekat. Hati saya tergetar mendengar takbir dikumandangkan, melihat panji-panji berkibar dan barisan coklat rapi dan gagah dari para kepanduan yang berada di depan. Hal sama dirasakan oleh seorang polisi yang sedang berbicara melalui handy talky dengan temannya di ujung: "Saya merinding melihat ini."

Mereka semakin mendekat, mendekat, dan mendekat. Saya pun lalu berteriak: Allohuakbar!!! One Man One Dollar, To Save Palestina.!





by: riza almanfaluthi

11:49 15 Mei 2006


Riza Almanfaluthi
Account Representative
Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Tiga
Commited to Best Services and High Standard

Pengakuan Jujur Seorang Penyusun Buku " Hakikat IM "


Written by gaza

Assalamu'alaikum warohmatullohi Wa Barokatuh,

Saudaraku, di bawah ini saya tampilkan pernyataan Akhi Anwar Shiddiq, dia pernah menyusun buku judulnya " Hakikat Ikhwanul Muslimin (IM) ", tetapi setelah berjalan waktu dia menyesal & ingin menarik buku itu. Akhi Anwar nitip supaya bisa memakai forum MyQuran buat menampilkan
surat terbuka. Beliau tak melayani debat di forum, tapi mau terima e-mail ke ilaiya@myquran.org. Berikut ini pernyataan Al Akh Anwar Shiddiq:
Segala puji dan syukur kepada Allah Swt. atas limpahan nikmat dan karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw., keluarganya, dan para shahabatnya. Amma ba'du.

Allah berfirman dalam Al Qur'an: "Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Ali Imran 135).

Ikhwan fillah rahimakumullah, semoga Allah Swt. senantiasa merahmatimu, menganugrahkan ilmu bermanfaat, menunjuki dengan hidayah, menguatkan dengan taufiq untuk berbuat kebaikan amal, lahir dan batin. Amin ya Rabbal 'alamin.

Melalui forum yang mulia ini perkenankan ana (Anwar Shiddiq) menyampaikan sebuah pengalaman penting yang ana alami sendiri saat berinteraksi dengan ikhwan-ikhwan Salafi yang yang akhir-akhir ini sering disebut Salafi Yamani (meminjam istilah ustadz tertentu). Maksud dari penuturan ini yakni agar ana bisa memohon maaf atas kesalahan yang pernah ana lakukan saat ana mendapat pengaruh yang sangat kuat dari pemikiran Salafi Yamani itu. Secara khusus permohonan maaf ini ana tujukan kepada saudara-saudaraku dari Ikhwanul Muslimin (IM) di Indonesia, khususnya yang sudah membaca buku yang ana susun.

Di bawah ini penuturan ana:

"Ana dulu beramal jama'i bersama Jamaah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin/IM) selama bertahun-tahun. Suatu saat ana putuskan mundur dari IM secara baik-baik, yakni maksudnya ana mundur karena kesadaran sendiri, tidak dipaksa-paksa atau diprovokasi.
Ana sudah bertekad, meskipun tidak lagi bersama Tarbiyah (IM) ana akan tetap menjalin hubungan baik dengan mereka. Hal ini ana tempuh, sebab ana tahu Ustadz Jakfar Talib, seorang pemimpin Salafi di Indonesia, tadinya dia ikut IM juga, tapi setelah jadi Salafi, dia sangat membenci IM setengah mati. Ana tidak mau seperti itu, ana mau jadi diri sendiri, tidak terpengaruh orang lain. Ana merasakan sendiri di IM itu tidak sedikit kekurangan-kekurangan, tapi ana juga tidak pungkiri disana ada kebaikan-kebaikannya, maka itu ana ingin sikap proporsional saja, tidak berlebih-lebihan seperti sikap Ustadz Jakfar Talib itu.

Sayang seribu sayang, sikap baik ana ini pelan-pelan berubah saat ana mulai mengambil pemikiran-pemikiran dari Salafi Yamani. Ana membaca majalah Asy Syariah, ana mendengar kaset ceramah Ustadz Muhammad Sewed, ana bergaul dengan mantan Larkar Jihad (LJ), ana mengikuti berita-berita seputar dakwah Salafi, ana berteman dengan pengikut Salafi Yamani, ana membuka-buka situs
www.salafy.or.id, dan apa-apa yang bisa ana peroleh. Sikap ana yang dulunya baik ke teman-teman IM berubah jadi kebencian dan rasa muak. Ana seperti orang yang mengalami "cuci otak", pendirian santun ana dulu saat baru keluar dari IM seperti tidak berbekas. Ana dulunya benci sama sikap keras Ustadz Jakfar Talib, tapi ana akhirnya ikut terseret juga ke sikap semacam itu.

Bila dilukiskan, majlis-majlis ilmu yang berhubungan dengan Salafi Yamani itu seperti kobaran api. Siapa saja yang ada di dekatnya akan merasa kepanasan, atau menularkan panas ke orang lain. Ana merasakan pengaruh ini ke diri ana sendiri, yang tadinya baik-baik saja jadi timbul kebencian ke orang lain. Selama interaksi dengan pengikut Salafi Yamani, yang dibicarakannya tahdzir ahli bid'ah, hajr, firqah sesat, bantahan, celaan, dsb. Apalagi kalau mereka sudah angkat bicara soal Sururiyah atau kesesatan tokoh-tokoh IM, panas sekali suasana yang terbentuk. Orang yang semacam ana ini tidak sedikit di tempat-tempat lain.

Kebencian ana ke IM semakin besar saat seorang ikhwan Salafi itu menyodorkan sebuah buku berjudul "AL IKHWAN AL MUSLIMUN, Anugerah Allah yang Terzalimi". Buku ini karangan Ustadz Farid Nu'man, penerbitnya Pustaka Nauka dari Kukusan Depok. Sebetulnya buku ini diberikan atas rekomendasi aktivis
PKS juga, biar orang-orang Salafi mau membacanya, termasuk ana di dalamnya. Sehabis membaca buku itu ana malah semakin tidak simpati ke IM. Selain memberi rekomendasi, aktivis PKS itu juga melontarkan kritikan-kritikan tidak sedap ke Salafi, sehingga semakin bulat hati ana untuk menyusun sebuah bantahan.

Ana kumpulkan saja buku-buku, tulisan-tulisan yang mengupas penyimpangan IM, lalu ana ambil materi dari sana-sini (istilahnya 'menjahit materi'). Ana tambahkan disitu komentar-komentar ana, sampai jadilah sebuah buku berjudul, "Hakikat Ikhwanul Muslimin (IM)". Selanjutnya buku itu diedarkan secara terbatas di bawah UISP (milik kami sendiri). Sudah tentu aktivis
PKS yang mengkritik kami itu, kami sodori buku itu juga. Jujur saja, kalau tidak diprovokasi oleh sikap aktivis itu mungkin buku tersebut tidak pernah disusun.

Sesudah waktu berjalan cukup lama, sesudah ana baca-baca buku, tulisan-tulisan, ana diskusi-diskusi, akhirnya ana putuskan untuk membersihkan diri dari pemikiran-pemikiran "Salafi ekstrem" yang telah bercokol di pikiran ana. Ana tidak mau ketempatan sesuatu yang bisa merusak diri sendiri. Kalau ingat keadaan seperti ini rasanya ana ingin kembali ke situasi dulu saat baru keluar dari IM secara baik-baik. Dulu ana bisa tersenyum saat bertemu teman-teman IM, tapi sekarang ini sulit. Ana sepertinya sudah terjerumus ke sebuah permusuhan keras. Saat ana baca kembali buku "Hakikat Ikhwanul Muslimin (IM)" yang tak lebih hanya buku 'jahitan' itu, ana sedih bukan main. Kenapa ana sampai menulis kalimat-kalimat kasar, emosional, menzhalimi saudara sendiri? Padahal tekad ana semula tidak begini. Ya Rabbi, ana memohon ampunan kepada-Mu atas kesalahan-kesalahan ana. Hamba-Mu ini dhaif, sedangkan Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Ampuni ana Rabbi. Amin. Sekian penuturan dari ana.


Selanjutnya melalui forum yang mulia ini ana ingin menyatakan:

SATU, Ana bertaubat kepada Allah Yanga Maha Pengampun atas kesalahan-kesalahan ana dengan menyusun buku "Hakikat Ikhwanul Muslimin (IM)".

DUA, Ana memohon maaf kepada seluruh jajaran Jamaah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin) di Indonesia, baik pengurus, anggota, atau simpatisannya, atas tersebarnya buku "Hakikat Ikhwanul Muslimin (IM)" di atas, terutama atas kalimat-kalimat tidak adil yang termuat di dalamnya.

TIGA, secara terbuka ana cabut buku tersebut di atas, sebab resiko madharatnya lebih besar daripada manfaatnya. Ana nyatakan buku itu tidak sah lagi dan tidak boleh diedarkan atas nama siapa pun.

EMPAT, ana tetap mengakui adanya kelebihan dan kekurangan pada diri setiap muslim atau kelompok Islam. Namun hendaknya kita bersikap proporsional, yakni tidak memutlakkan kebaikan atasnya dan juga tidak memutlakkan keburukan baginya. Setiap muslim memiliki kelebihan-kekurangan tertentu. Kita harus bersikap adil sebab Allah mencintai orang-orang yang adil. (QS. Al Maa'idah 42; QS. Al Hujurat 9; QS. Al Mumtahanah ..

LIMA, ana nasehatkan kepada ikhwan-akhwat yang sedang belajar ilmu-ilmu keislaman agar berhati-hati dari sikap ekstrem (berlebih-lebihan) dalam segala wujudnya. Kalau dipengaruh-pengaruhi agar bersikap ekstrem, tinggalkan saja sebab doktrin semacam itu akibatnya cuma kerugian saja. Ingatlah selalu sabda Nabi Saw. dalam haditsnya, "Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak akan pernah seseorang menyulit-nyulitkan perkara agama ini, melainkan ia akan dikalahkan." (Riwayat Imam Bukhari, dari Abu Hurairah Ra.). Sekian pernyataan ana.

Pernyataan di atas ana sampaikan apa adanya, secara ikhlas, tidak ada paksaan atau tekanan. Buat sahabat-sahabat yang mendapatkan manfaat dari pernyataan ini, mohon doa antum semua agar Allah selalu membimbing ana (dan antum semua) buat menetapi jalan yang diridhai-Nya. Amin ya Rabbal 'alamin. Buat ikhwan-akhwat yang keberatan, tidak setuju, atau kecewa atas pernyataan ini, silakan antum mengirim ke
ilaiya@myquran.com Ana akan usahakan menjawab surat-surat antum, yakni surat-surat yang layak dijawab. Siapa saja yang mau beri masukan, kritik, atau kecaman (mungkin), silakan juga menulis ke e-mail di atas.

Akhirnya ana berdoa kepada Allah, "Ya Rabbana, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi."
(QS. Al A'raaf: 23). Ya Rabbi, ana memohon ampunan dan rahmat dari-Mu. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti sunnahnya akhir jaman. Amin ya Rabbal 'alamin.

MyQuran, 5 Agustus 2006
Al faqir ila Rabbi

Anwar Shiddiq

Jumat, April 25, 2008

partisipasi dalam pemilu


Ditulis oleh abinyahasan di/pada April 24, 2008

Sumber dari web kawan sekelas di ma’had dulu

http://tanyasyariah.wordpress.com/2007/10/05/partisipasi-dalam-pemilu/

Tanya:

Bagaimana hukum ikut pertisipasi dalam Pemilu? Benarkah hal itu terlarang?

Jawab:

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut saya informasikan bahwa selama ini saya belum pernah satu kali pun ikut serta dalam pemilu, seingat saya. Dan, pendapat saya terkait keikutsertaan dalam pemilu kali ini pun masih bersifat tentatif, dapat berubah sekiranya saya mendapatkan argumen lain yang lebih kuat, sebagaimana halnya dulu pun saya tidak berpendapat sebagaimana sekarang ini. Mudah-mudahan ini termasuk ke dalam spirit ucapan ulama: al-‘ilm lā yaqbal al-jumūd (ilmu itu tidak menerima kebekuan).

Sebelum masuk ke inti pembahasan, saya ingatkan bahwa masalah ini masih debatable di kalangan ulama. Syaikh Ibn ‘Utsaimīn, misalnya, pernah ditanya oleh sebagian saudara-saudara kita dari Indonesia—kalau tidak salah sampai dua kali—apakah kaum muslimin Indonesia ikut serta dalam pemilu atau tidak, dan beliau memfatwakan untuk turut serta dalam pemilu. Namun sebagian ulama lain, semisal Syaikh Muqbil, melarang secara mutlak keikutsertaan dalam pemilu, dengan alasan pemilu dan demokrasi merupakan sistem yang mengandung berbagai macam kebatilan bahkan kekufuran (namun kali ini saya tidak sedang membahas kebatilan sistem demokrasi dan pemilu). Semoga Allah melimpahkan rahmat yang luas kepada seluruh ulama kaum muslimin.

Saya pribadi untuk saat ini cenderung untuk sejalan dengan apa yang difatwakan oleh Syaikh Ibn ’Utsaimīn. Berikut adalah alasannya:

Penting untuk dipahami bahwa keikutsertaan seseorang dalam pemilu tidak melazimkan bahwa yang bersangkutan meyakini demokrasi dan pemilu sebagai sistem yang benar, namun bisa jadi karena pertimbangan maslahat dan mudharat, atau usaha untuk mendapatkan mudharat yang paling ringan (akhaffudh dhararain).

Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya pun sependapat dengan kebatilan sistem yang bernama demokrasi. Saya juga sependapat bahwa pada pemilu, yang merupakan produk turunan dari demokrasi, terdapat berbagai macam penyelisihan terhadap syariat. Namun, itulah realita yang kita hidup di dalamnya, suka maupun tidak. Permasalahannya adalah, apakah dengan meninggalkan pemilu tersebut, karena menyelisihi syariat, akan terealisir maslahat yang lebih besar ataukah justru sebaliknya?

Sahabat ‘Umar Ibn al-Khaththāb berkata, “Bukanlah orang yang berakal itu adalah yang dapat mengetahui kebaikan dari keburukan, namun orang yang berakal adalah yang mampu mengetahui yang terbaik dari dua keburukan.” [Lihat misalnya: Raudhatul Muhibbīn, hal. 8]

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Poros syariat dan taqdir (madār asy-syar’ wal qadar), dimana kepadanya kembali penciptaan dan perintah (al-khalq wal amr), adalah mengedepankan kemaslahatan yang paling besar, meskipun harus kehilangan maslahat yang lebih rendah daripadanya, serta memasuki kemudharatan yang paling ringan dalam rangka mencegah kemudharatan yang lebih besar.” [Lihat: ad-Dā` wad Dawā` atau al-Jawāb al-Kafī, hal. 108 dan Ahkam Ahl adz-Dzimmah, vol. II, hal. 908]

Bagaimana penjelasan hal tersebut terkait keikutsertaan dalam pemilu?

Secara realitas, jika Anda tidak ikut serta dalam pemilu, atau menjadi ‘golput’, apakah Anda dapat terlepas dari sistem demokrasi? Jika jawabannya adalah iya, yakni dengan ketidakikutsertaan Anda beserta rekan maka pemilu menjadi batal, atau Anda dapat terlepas dari sistem demokrasi serta berganti menuju sistem yang lebih baik dan islami, maka saya dengan tidak ragu menyatakan bahwa keikutsertaan dalam pemilu pada kondisi ini hukumnya haram.

Namun pada kenyataannya, Anda belum dapat lepas dari sistem demokrasi, baik ikut pemilu maupun tidak. Karena itu, apabila Anda diminta memilih, antara hidup dalam sistem demokrasi yang dipenuhi beragam kejahatan, korupsi, ketidakadilan, penindasan, dan lain-lain, ataukah hidup dalam sistem demokrasi yang masih mengandung nilai-nilai kebaikan, seperti kejujuran, keadilan, dan tidak adanya korupsi, maka manakah di antara keduanya yg akan Anda pilih? Jawabnya tentu saja, Anda menginginkan demokrasi yang di dalamnya lebih banyak mengandung nilai-nilai kebaikan. Jika demikian, lalu apakah Anda akan bersikap apatis, diam begitu saja dengan tidak ikut pemilu, ataukah Anda ikut serta dalam pemilu sebagai upaya untuk mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu mendapat yang terbaik dari dua keburukan?

Misalkan saja, terdapat komunitas muslim yang hidup dalam negeri kufur dengan penguasa yang kafir. Komunitas muslim tersebut tidak hijrah karena mereka masih dapat mengerjakan kewajiban agama dan mereka dapat berdakwah. Pada suatu ketika, negeri tersebut mengadakan pemilu. Ada dua kandidat pemimpin yang muncul. Keduanya sama-sama kafir. Namun yang satu sikapnya lebih adil dan lebih toleran terhadap kaum muslimin, sementara yang lain lebih keras permusuhannya terhadap kaum muslimin. Komunitas muslim tersebut, katakanlah jumlahnya sekitar 25% dari total penduduk, dibolehkan untuk memberikan suaranya dalam pemilu.

Sekiranya Anda adalah bagian dari komunitas muslim tersebut, secara jujur, siapakah yang Anda inginkan untuk terpilih jadi penguasa, apakah yang sikapnya lebih toleran kepada kaum muslimin ataukah yang lebih keras permusuhannya? Pertanyaan selanjutnya, maka apakah kaum muslimin akan diam saja, tidak memberikan suara mereka? Padahal dengan jumlah suara kaum muslimin yang cukup signifikan besar kemungkinan mereka mampu menjadikan kandidat yang lebih toleran terhadap kaum muslimin tersebut sebagai penguasa.

Katakanlah kandidat yang lebih keras permusuhannya terhadap kaum muslimin memperoleh 45% suara, sementara kandidat yg lebih toleran memperoleh 30% suara. Apabila kaum muslimin, yang dalam contoh ini memiliki 25% dari total suara, tidak bertindak dan tidak memberikan suara mereka untuk kandidat yang lebih toleran niscaya kandidat yang lebih keras permusuhannya tersebut akan menempati posisi pimpinan, dimana hal ini akan lebih memudharatkan kaum muslimin.

Pada contoh di atas, bagi kaum muslimin yang mengikuti pemilu, dapatkah dikatakan bahwa mereka ridha terhadap kekufuran penguasa berikut kekufuran sistem yang ada? Jawabnya tentu saja tidak, namun permasalahannya terkait dengan pertimbangan yang terbaik di antara dua mudharat (akhaffudh dhararain).

Hal yang sama dapat dianalogikan untuk pemilu yang berlangsung di negeri kita. Meskipun kondisinya mungkin berbeda, namun substansinya tidak keluar dari permisalan di atas. Jika kita sepakat pada contoh di atas, jika memilih yang terbaik di antara orang kafir saja dimungkinkan pada sebagian kondisi tertentu, maka apatah lagi dengan memilih yang terbaik di antara orang-orang yang masih berhak menyandang predikat muslim.

Penting juga untuk diingat, bahwa merupakan realita yang tidak dapat dipungkiri, bahwa apabila orang-orang baik itu bersikap abstain dan tidak ikut menyumbangkan suaranya ke dalam pemilu, maka kaum salibis dan orang-orang bejat akan bersorak sorai kegirangan, dan memiliki kesempatan lebih besar untuk menggenggam tampuk kekuasaan. Maka, apakah Anda akan membiarkan mereka bergembira di atas kebusukan mereka?!

Serta tidak dapat dipungkiri fakta bahwa sebagian orang yang memiliki pemikiran liberal nan sesat juga mengkampanyekan untuk abstain dalam pemilu, dengan slogan yang cukup masyhur: “Islam Yes, Partai Islam No!” Memang benar bahwa tidak semua yang keluar dari mereka dipastikan salah, namun kiprah mereka dalam melakukan penggembosan terhadap orang-orang yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam tentu merupakan hal yang tidak samar lagi di kalangan kita.

Selanjutnya, dalam hal ini mungkin muncul beberapa pertanyaan yang membutuhkan jawaban:

Mungkin ada yang menyanggah: bahwa terdapat kontradiksi dan inkonsistensi antara menyatakan kebatilan demokrasi, plus pemilu sebagai turunannya, dengan menyatakan kebolehan keikutsertaan dalam pemilu. Dengan demikian pilihannya hanya ada dua: menyatakan kebatilan pemilu sehingga haram secara mutlak untuk ikut serta di dalamnya, atau menyatakan kebenaran pemilu sehingga dibenarkan berpartisipasi di dalamnya.

Jawabnya: kita sepakat bahwa pada prinsip awalnya, keikutsertaan dalam demokrasi plus pemilu sebagai turunannya, adalah tidak dibenarkan. Namun sekali lagi, suka atau tidak suka secara realitas kita hidup di dalamnya. Jika berlepas diri secara mutlak adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh, maka konsekuensinya adalah, keharusan untuk berusaha meninggalkan negara ini dan mencari negara lain yang tidak menerapkan sistem demokrasi dan menerapkan sistem Islam. Bukankah demikian? Selama kita masih memilih negara ini sebagai tempat tinggal, maka bukankah seyogyanya kita berusaha mencari kondisi yang terbaik bagi tempat tinggal kita tersebut semampu kita? Dengan demikian, acuannya kembali kepada pertimbangan yang terbaik dari dua mudharat terkait keikutsertaan atau meninggalkan pemilu.

Mengenai kontradiksi dan inkonsistensi yang disebutkan, maka mungkin permasalahan ini dapat dianalogikan dengan manhaj Ahlus Sunnah dalam membedakan antara hukum pelaku (hukm an-nau’) dan hukum perbuatan (hukm al-‘ain). Kita mengetahui bahwa tidak semua pelaku bid’ah disebut sebagai ahli bid’ah, dan tidak semua pelaku kekufuran dinyatakan sebagai orang kafir. Apakah ini adalah sikap yang kontradiktif dan inkonsisten? Jawabnya tentu tidak. Sebab, perkaranya terkait dengan faktor eksternal yang kita kenal dengan istilah: istīfā` asy-syurūth wa intifā` al-mawāni’ (terpenuhinya syarat dan hilangnya penghalang). Demikian pula dengan apa yang kita nyatakan terkait masalah keikutsertaan dalam pemilu di atas. Permasalahannya bukan hanya terkait dengan ketidakkesesuaian pemilu dengan syariat Islam, namun juga terkait dengan faktor eksternal, yaitu pertimbangan maslahat-mudharat.

Mungkin ada yang menyanggah: bahwa sistem Islam yang kita cita-citakan tidak akan terealisir dengan jalan yang tidak Islami, seperti demokrasi plus pemilu, yang justru mengandung berbagai kebatilan.

Jawabnya: kita sepakat dengan yang bersangkutan. Sistem yang islami dan ideal tidak akan terbentuk dengan jalan yang tidak islami. Logika sederhananya, jika tujuan Anda adalah Jakarta, namun Anda mengambil rute jalan ke Bandung maka Anda tidak akan sampai kepada tujuan.

Namun, kita hidup pada realita dan bukan utopia. Kita menginginkan maslahat yang besar dengan penerapan sistem yang islami dan ideal di masa yang akan datang, namun kita juga harus menolak kemudharatan sesuai kemampuan pada masa yang tengah berdiri di hadapan kita. Jika keduanya memungkinkan untuk dapat dilakukan secara simultan dan bersamaan, maka mengapa tidak dilakukan?

Mungkin ada yang menyanggah: siapa yang akan menjamin bahwa orang yang kita pilih itu tetap baik sebagaimana sebelum ia dipilih?! Bukankah ia dapat berubah menjadi buruk setelah menerima jabatan?

Jawabnya: Saudaraku, sesungguhnya Allah tidak membebani kita atas hal-hal di luar kemampuan dan jangkauan pikiran kita, namun Allah hanya membebani kita sesuai kemampuan kita. Jika Anda bertindak sebagai pemimpin musyarawah untuk memilih ketua pengurus masjid, misalnya, dimana pada saat itu terdapat dua kandidat: A dan B. Dilihat secara track record, kandidat A memiliki integritas lebih baik dan lebih kompeten dibandingkan kandidat B, maka manakah yang akan Anda usulkan untuk dipilih? Apakah Anda akan abstain dalam hal ini dengan dalih bahwa tidak ada yang menjamin integritas keduanya di kemudian hari? Tentu, ini adalah sikap yang kurang masuk akal. Namun, jika Anda memilih kandidat A, maka bagaimana jika ia menjadi jelek di kemudian hari?

Hal yang sama, yaitu menjadikan track record dari orang yang kita pilih sebagai acuan, juga berlaku pada apa yang kita pilih ketika pemilu.

Jika yang track record-nya lebih baik saja dapat berubah menjadi buruk, maka bukankah besar kemungkinan yang track record-nya lebih buruk akan berubah menjadi bertambah buruk? Jika orang yang dasarnya baik saja dapat menjadi buruk karena terpengaruh oleh rayuan harta dan kekuasaan, maka apatah lagi dengan orang yang memang pada dasarnya buruk?! Namun sekali lagi hal-hal semacam ini di luar kemampuan kita dan kita tidak terbebani untuk itu. WaLlāhu a’lam bish shawāb.

Mungkin ada yang bertanya: apakah ini dalam tolong-menolong dalam keburukan, dimana berarti bisa jadi kita mendorong saudara kita untuk masuk ke dalam sistem yang penuh dengan kebatilan, bahkan kekufuran?!

Jawabnya: Mengenai masuknya sebagian saudara kita parlemen, atau mencalonkan diri sebagai pemimpin, maka itu pilihannya (kajian mengenai hal tersebut tidak dibahas di sini). Anda memilih ataupun tidak, maka ia sudah berniat dan bahkan berbuat untuk masuk ke dalam parlemen (sehingga hal itu sudah masuk dalam catatan amalnya). Yang penting untuk Anda perhatikan dan lakukan adalah bagaimana mengambil keburukan yang paling ringan untuk mencegah keburukan yang lebih besar, dengan pandangan secara agregat, integral dan komprehensif. Berdasarkan spirit tersebut maka apa yang Anda lakukan justru merupakan upaya pencegahan keburukan yang lebih luas, dan bukan tolong-menolong dalam keburukan.

Mungkin ada yang menyanggah: bukankah poros demokrasi berkisar antara mayoritas-minoritas, dimana mayoritas mengalahkan minoritas. Jika kaum muslimin yang baik tersebut adalah minoritas, maka apa gunanya mereka ikut pemilu? Toh mereka akan kalah dan tertelan oleh kelompok mayoritas yang dalam hal ini adalah buruk. Dan, sekiranya kaum muslimin yang baik tersebut adalah mayoritas, bukankah mereka dapat membatalkan pemilu dan sistem demokrasi itu sendiri melalui ketidakikutsertaan dalam pemilu dan kekuatan mereka?

Jawabnya: tidak demikian, Saudaraku, yang Anda sebutkan itu mungkin benar secara teoritis namun tidak demikian kondisinya secara realitas. Dan, sekali lagi, kita hidup dalam realita dan bukan utopia. Memang benar bahwa dalam sistem demokrasi minoritas pasti akan kalah oleh mayoritas. Dan, adalah benar bahwa pada saat ini yang baik tersebut hanyalah minoritas. Tetapi bukankah ‘kegelapan yang masih memiliki cahaya’ itu masih lebih baik dibandingkan ‘kegelapan yang benar-benar gulita’? Bukankah ‘cahaya’ yang sedikit tersebut memungkinkan untuk bertambah luas dengan adanya proses interaksi dan dakwah? Meskipun juga memungkinkan bahwa ‘cahaya tersebut ditelan oleh kegelapan’. Bagaimanapun juga, bukankah keberadaan sebagian orang yang memiliki kebaikan yang menduduki posisi yang strategis itu masih lebih baik ketimbang seluruh posisi strategis itu dikuasi oleh orang-orang yang buruk?!

Ada juga yang menyanggah: ucapan Imam Ibnul Qayyim dan atsar dari ‘Umar di atas dikecualikan dari permasalahan politik.

Jawabnya: Ucapan ini tidak memiliki landasan apapun. Zhahir dari ucapan Imam Ibnul Qayyim dan atsar ‘Umar adalah berlaku untuk setiap aspek kehidupan, yaitu untuk senantiasa mempertimbangkan aspek maslahat-mudharat dalam segala hal. Tentu di dalamnya termasuk urusan politik. Adapun kesulitan sebagian orang dalam menerapkan atsar ‘Umar dan ucapan Ibnul Qayyim tersebut pada sejumlah permasalahan, maka tidak menjadi dalil gugurnya hal tersebut pada permasalahan dimaksud.

Demikianlah, waLlāhu a’lam bish shawāb….

Penting untuk diperhatikan, pembahasan saya kali ini hanyalah terkait dengan masalah keikutsertaan dalam pemilu, dan saya sama sekali tidak membahas tentang hukum membentuk partai politik, hukum kampanye, hukum masuk dan mengikuti pola serta aturan parlemen, dan lain-lain. Maka tidak ada dibenarkan untuk membawa pembahasan dan opini saya kali ini kepada hal-hal tersebut. Sebab masing-masing membutuhkan pembahasan secara khusus.

Sebagai kesimpulan, saya mengingatkan bahwa pada intinya dalam permasalahan ini harus dipertimbangkan aspek maslahat dan mudharat secara matang. Karena di bangun di atas maslahat dan mudharat, maka hasilnya menjadi sangat relatif, tergantung situasi dan kondisi. Artinya, bisa jadi pada sebagian kondisi sangat sulit untuk diputuskan apakah keikutsertaan dalam pemilu itu lebih maslahat dibandingkan meninggalkannya, atau sebaliknya, atau sama saja antara keduanya. Di samping itu, penilaian masing-masing individu terhadap maslahat-mudharat bisa jadi berbeda-beda, tergantung tingkat pengetahuan terhadap realita yang ada.

Saya juga tidak meniatkan tulisan ini untuk menguatkan individu atau partai tertentu dalam pemilu, namun hanya untuk membuka wawasan kita terkait hal ini. Dan, sebagaimana saya tegaskan di atas, penilaian terhadap maslahat-mudharat merupakan poin krusial dalam masalah ini. Karena itu, implementasi dari apa yang saya kemukakan di atas terhadap pemilihan individu atau partai tertentu atau bahkan abstain alias tidak memilih seharusnya juga didasarkan kepada poin tersebut, dan ini kembali kepada masing-masing individu, sesuai kemampuan dan pengetahuannya.

Penting juga untuk diingat, bahwa pembahasan saya kali ini hanyalah merupakan bentuk tarjīh atas satu dari dua pendapat ulama dalam hal ini. Sama sekali tidak ada tujuan untuk mencela atau merendahkan para ustadz, apalagi ulama, yang menguatkan pendapat yang berbeda dari apa yang saya pilih. Saya meyakini bahwa masalah kali ini merupakan bagian masalah yang memungkinkan ijtihād di dalamnya. Dan, selama pendapat tersebut dibangun di atas ijtihād, maka yang benar akan mendapatkan dua pahala dan yang salah hanya mendapatkan satu pahala. Tidak ada celaan, sebab semua—in sya-āLlah—menginginkan kebaikan dalam ijtihād-nya, meskipun dengan hasil yang berbeda-beda. Yang tercela adalah sikap fanatisme buta yang tidak beralasan dan memiliki landasan.

Akhir kata, waLlāhu a’lam bish shawāb….

Salam,

Adni

NB: Tulisan ini juga dicantumkan dalam www.adniku.wordpress.com

Lho kok...

Iya..kok jadi ngomongin jubah saya. lanjutin dikit boleh khan. iya kemarin saya minta sama istri utk motong jubah bawah krn kepanjangan di bawah smpai ke tanah. ngg nyaman aja rasanya. cuman ya itu tadi motongnya kependekan mnurut saya..padahl kalo teman2 salafy ato tabligh mungkin seneng dan pas. itu saya lihat dari gaya berpakaian mereka loh...

Tadi isi khutbah saya adalah mengenai QS Al Maidah:54. Beberapa kali saya sampaikan materi ini di beberapa ceramah saya mulai dari Masjid Nurul Islam Muka Kuning di acara PUMA maupun Tarbiyyah Spesial, di Majlis Taklim MTA PT AIT/ Unisem dan MT-MT yang lain. Dah lupa.

Tentang karakteristik umat pilihan :
1. Mereka mecintai Allah dan Allahpun mencintai mereka (Yukhibbuhum wa yukhibbunahu).
2. Lemah lembut terhadap sesama mu'min (Adzillatin alal mu'miniin).
3. Bersikap keras terhadap orang kafir yaitu terhadap pola hidup yang tidak sesuai dengan ajaran islam. (A'izzatin alal kafiriin).Point 2-3 bisa lihat juga di QS Al Fath : 29
4. Siap berjihad. (Yujaahiduuna fi sabilillah).
DR Said Hawwa mengatakan ttg anwa'ul jihad/ macam2 jihad a.l :
- Jihad Bil Mal : dengan harta
- Jihad Bil Lisan : dengan lisan
- Jihad Tarbawi/ Ilmi : mencari ilmu
- Jihad Siyasi : Politik dan lain-lain.
5. Tidak takut celaan dengan orang yang suka mencela ( Wa la yakhoofuuna laumata la'im).

Udah deh capek, ntar lanjutin lagi yah. Tp gak janji loh.....:-)
Peace..Wassalam.

Khutbah Jumat-25 Apr 2008

Hari ini materi khutbah yang saya sampaikan di Masjid AlBaqa Tj Piayu adalah tentang 5 ciri umat pilihan. Rencananya materinya adalah tentang 5 hal yang menguatkan iman. Buku dr ust Ahmad Yani sudah di baca dan di pelajari. Tapi karena tadi harus ngantar buku-buku yang masih ada di rumah untuk di jual ke Toko di Mitra Mall dan kotak kardusnya ngg cukup terpaksa harus banyak tercecer di jok mobil. Eh..pas menurunkan ternyata materi khutbahnya ikut di turunkan karena buru-buru mau ngejar waktu ke piayu. Baju belum pakai lagi krn rencana istri mau beliin baju sekalian di Mitra Mall krn banyak baju koko putih saya yg warnanya sudah ngg putih lagi :-) alias sudah coklat... Alhamdulillah tadi bawa jubah yang dulu saya beli waktu haji di mekah. Jubah kesayangan merk "bin dawud" no 52. Kenapa saya bilang kesayangan karena jubah saya yang lain model Maroko yang ada talinya depan di gunting ama istri sampai betis. Saya agak kurang suka dengan jubah yang terlalu ke atas. Saya suka yang cukup di atas mata kaki dikit aja. makanya no 52 sangat pas sekali utk saya. Kayak kemarin sempet pesen jubah merk "Al Ashil" ke kawan yang berangkat umrah. Pas deh. ntar deh lanjutin. Di ajak ama ust Bakhtiar.lc makan siang neh...Afwan yah...

Rabu, April 23, 2008

AHWAL MUSLIMIN AL YAUM



(KONDISI UMAT ISLAM SAAT INI)

Keadaan muslimin sekarang ini memanglah hina dan beradadi bawah kekuasaan musuh-musuh Islam. Muslim sebagai umat yang baik dan mulia ternyata tidak lagi nampak kemuliaannya di tengah manusia lain. Bahkan nampak semakin terjerumus sebagai hasil keadaan jahiliyah yang semakin merajalela saat ini. Secara umum kondisi kaum muslimin hari ini mempunyai kelemahan-kelemahan di antaranya adalah “Akidah, tarbiyah, tsaqofah, dakwah, pengorganisasian/tanzim, dan akhlak.

Keadaan ini terjadi di sebagian besar negara Islam. Bukti yang nyata adalah banyaknya negara Islam di bawah kekuasaan musuh-musuh Islam. Sebagian muslim tersebut nampak tidak mengamalkan ibadah wajib seperti shalat, berpakaian muslimah, zakat dan berpuasa. Keadaan demikian harus diperbaiki dengan menyediakan dakwah harakiyah yang integral dan bersifat rabbaniyah, minhajiyah, marhaliyah dan ulawiyah serta sesuai dengan realitas dan seimbang.

  1. DO’FUL MUSLIMIN (KELEMAHAN KAUM MUSLIMIN)
    • Aqidatan (Aqidah)
    • Tarbiyatan (Pendidikan)
    • Tsaqafiyatan (Pengetahuan)
    • Dakwatan (Dakwah)
    • Tandhiman (Struktur)
    • Akhlaqan (Akhlak)

A.AQIDATAN (Aqidah)

Berbagai kelemahan muslim yang utama dan prinsip pada saat ini adalah kelemahan aqidah di kalangan kaum muslimin. Aqidah pada sebagian besar kaum muslim telah dicampuri dengan berbagai kepercayaan yang merusak aqidah yang sebenarnya. Kepercayaan kepada nenek moyang dengan mengamalkan kepercayaan tradisi jahiliyah yang diwarnai oleh animisme dan dinamisme, sebagian lagi kepercayaan ini dipengaruhi oleh agama Hindu. Aqidah Islam juga dicemari oleh faham tarekat yang salah dan kepercayaan Syiah yang bertentangan dengan aqidah ahlus sunnah wal jamaah. Aqidah yang dibawa oleh umat Islam tidak juga tertanam secara baik di dada kaum muslimin. Mereka mencampuri dengan kepercayaan kebendaan, keduniaaan dan sebagainya yang menjauhkan aqidahnya darii Allah SWT.

B. TARBIYATAN (Pendidikan)

Tarbiyah Islamiyah di kalangan muslimin sangatlah sedikit. Secara formal yang dilaksanakan oleh sekolah-sekolah negeri atau swasta sangatlah terbatas hanya beberapa jam saja diajarkan di kelas. Sedangkan sekolah Islam tidak begitu banyak. Keadaan ini masih sangat kurang apabila dibandingkan dengan keperluan saat ini. Sekolah Islampun tidak semuanya dapat menyajikan Islam dan tarbiyah yang baik sehingga dapat merubah pribadi pelajar dan gurunya. Pelaksanaan tarbiyah secara informal belum lagi banyak dilaksanakan secara berkesan. Majlis Taklim misalnya, sebagai tarbiyah yang bersifat informal. Dalam pelaksanaannya Majlis Taklim lebih kepada majelis illmu yang memberikan keperluan akal tetapi kurang kepada memenuhi keperluan qolbu dan biasanya kurang begitu membentuk kepribadian.

C. TSAQAFIYATAN (Pengetahuan)

Tsaqafiyatan Islamiyah di kalangan muslim juga kurang beriringan dengan efektivitas peranan tarbiyah dan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh umat Islam. Tsaqofah ini berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan wawasan yang bersifat Islam atau umum. Kemampuan ii belum banyak dimiliki oleh kaum muslim. Sebagian menguasai tsaqofah Islam tetapi dalam masalah umum kurang menguasainya (misalnya politik, ekonomi, kemasyarakatan) begitupun sebaliknya kurang ditemui muslim yang mempunyai penguasaan di bidang umum dan memiliki kemampuan tsaqofah Islamiyah. Muslim yang mempunyai ilmu dan tsaqofah demikian tidaklah banyak, dan masih kurang dibandingkan dengan jumlah muslim serta keperluan yang ada. Sebagian muslim yang mempunyai tsaqofah in kurang sesuai dangan pemahaman aqidah Islamiyah, kurang merujuk kepada minhaj yang utama yaitu Al Qur’an dan Sunnah. Sebagian merujuk kepada nilai Barat yang bertentangan dengan Islam, termasuk tsaqofah yang disuburkan oleh kepercayaaan jahiliyah seperti ashobiyah, nasionalisme, sekuler, kapitalisme dan komunisme.

D. DAKWATAN (Dakwah)

Dakwah Islampun nampaknya terkena penyakit dan keadaan sekarang seperti kata pepatah hidup enggan matipun tak mau. Kondisi dakwah yang berjalan perlu dipertanyakan lag tujuan yang hendak dicapai dan cara mencapai tujuan tersebut. Hasil dakwah sekarang ini belum lag dapat dibanggakan bahkan keadaaan sekarang ini menunjukkan dakwah tidak berjalan karena tidak nampak bertambahnya pengikut atau pengikut yang ada pun semakin berkurang. Dakwah Islam tidak berkesan karena sebagian sudah hilang tujuan sebenarnya yang sudah dipengaruhi oleh berbagai pendekatan yang kurang Islami. Dakwah kurang berkesan karena menjadikan dakwah sebagai organisasi kelompok atau kumpulan elite ataupun perkumpulan yang tidak berdasarkan kepada nilai-nilai Islam. Dakwah yang tidak berjalan adalah satu masalah sendiri, sementara yang sedang berjalanpun perlu dilihat bagaimana keadaan yang sebenarnya, adakah sesuai dengan minhaj atau tidak. Mereka yang tidak berdakwah juga merupakan masalah besar karena mereka dijadikan sebagai mangsa yang sangat empuk dimakan oleh pihak musuh.

E. TANDHIMAN (Struktur)

Tanzim atau organisasi yang dikendalikan oleh Islam perlu dipertanyakan sejauh manakha mereka mengamalkan Islam di dalam tanzimnya. Tanzim dapat dibagi kepada tanzim berupa jamaah yang komitmet pesertanya melalui baiah dan organisasi Islam yang terbuka dengan menjalankan beberapa keperluan dan aktivitas Islam secara terbuka, atau organisasi Islam yang berwarna perkumpulan, kelompok, NGO dan yang lainnya. Bagaimanapun tanzim ini perlu dilihat kondisinya karena keadaaannya tak jauh berbeda dengan keadaan umat Islam yang sedang sakit. Apabila pengendali sedang sakit maka ada kemungkinan yang dibawakan akan sakit.

F. AKHLAQAN (Akhlak)

Akhlak sebagai cermim nuslim sudah dicemari oleh berbagai akhlak jahiliyah yang dilandasi oleh budaya dan gaya hidup masyarakat jahiliyah. Banyak ditemui muslim yang secara statusnya masih sebagai muslim tetapi tidak mencerminkan lagi akhlak Islam yang susah dibedakan dengan mereka yang bukan muslim. Akhlak remaja sangat kentara menampakkan wujud yang salah. Akhlak muslim tidak mewarnai diri muslim secara keseluruhan. Keadaan demikian tidaklah mustahil mengingat ghazwul fikri yang sangat kuat dan hizbusyaitan yang menguasai dunia saat ini.

  1. AL ISLAH (Perbaikan)

Dengan mewujudkan dakwah harkiah syaamilah (pergerakan dakwah yang sempurna) maka perbaikan akan dapat dicapai tanpa wujudnya pergerakan dakwah maka tidak muncul sedikitpun perubahan di kalangan umat. Masalah umat akan tetap menjadi masalah, hal ini telah dibuktikan dengan tidak wujudnya pergerakan dakwah maka umat akan terlena dengan tipu daya pihak kafir. Realitas yang ada sekarang ini memerlukan suatu harkah inkaz (pergerakan penyelamatan) untuk merubah keadaan umat Islam menjadi lebih baik dan terlepas dari segala penyakit yang membawa kita kepada kematian. Dakwah dan harakah yang mempunyai harapan kejayaan mesti mempunyai beberapa prasyarat yang harus dipenuhi diantaranya adalah rabbaniyah, minhajiyah, marhaliyah dan ulawiyah serta sesuai dengan realiti dan seimbang.

  1. AD DAKWAH AL HARAKIYAH ASSYAMILAH (Pergerakan Dakwah Yang Menyeluruh)
    • Ar Rabaniyah (Rabani)
    • Ar Manhajiyah (Konsepsional)
    • Ar Marhaliyah (Tahapan)
    • Ar Awlawiyat (Prioritas)
    • Al Waqiiyah (Realitas)
    • Al Mutawazinat (Seimbang)

A. Ar Rabaniyah (Rabani)

Rabbaniyah di dalam Al Qur’an mempunyai ciri pribadi yang senantiasa mengjarkan Islam dan juga mempelajari nilai Islam. Selain itu ciri rabbani adalah mereka yang tidak merasa duka cita, hina dan lemah didalam menjalankan dakwah Islam. Harakah dan dakwah Islam yang rabbani wajib mempunyai anggota dan sistem yang demikian. Anggotanya tidak diam begitu saja tetapi ia begetak dan senantiasa berdakwah. Dalam menjalankan dakwahnya mereka tidak putus asa tetapi berkelanjutan dan selalu berjalan dengna komitmen yang kuat dan kukuh.

B. Al Manhajiyah (Konsepsional)

Dakwah Islam mesti mengikuti minhaj yang benar dengan kesadaran yang jelas dan bersih. Minhaj dengan basirah ii tentunya merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah serta merujuk kepada sirah anabawiyah. Kemudian dari panduan ini kita mempertimbangkan keadaan lokal seperti situasi, kondisi, keadaan, peristiwa dan sikap yang muncul sehingga muncul fiqhud dakwah yang dapat dijalankan di tempat tertentu. Minhaj yang jelas akan membawa kepada jalan yang jelas dan juga akan membawa kita kepada tujuan yang benar sehingga Allah meridhainya.

C. Al Marhaliyah (Tahapan)

Dakwah dan harakiyah mesti mengikuti marhalah sesuai dengan marhalah (tahap) kesediaan, penerimaan, pengetahuan, kemampuan dan penguasaan aktivis harakah tersebut. Dengan marhalah in maka dakwah dapat berjalan dengan baik dan berpengaruh. Anggota yang membawa dakwah akan mengalami ketenangan dan kebahagiaan tanpa paksaan dan sesuai dengan kemampuan atau marhalah yang ada pada dirinya. Marhalah ini diperlukan di dalam dakwah dan harakah karena Nabi SAW mengamalkan dan menyebrkan dakwah emngikuti dan memperhatikan marhalah ini. Misalnya dakwah pada marhalah tabligh yang mengajak kepada manusia secara umum, kemudian diteruskan kepada dakwah secara taklim dengan suasana pengjaran, kemudaian ditruskan dengan dakwah marhalah takwin yang lebih kepada latiahan dan pembentukan, kemudaian ditingkatkan kepada marhalah tanzim dan tanfiz.

D. Al Awlawiyat (Prioritas)\

Dakwah dan harakah jgua memperhatikan keutamaan dari kerja-kerja yang akan dilakukan. Perlu memfokus kepada suatu isu dan aktivitas yang dapat memberikan sumbangan kepada umat Islam sehingga dakwah dapat tampil di tengah masyarakat dengan kehdiran yang dinanti-nantikan. Misalnya keutamaan tarbiyah adalah suatu keutamaan bagi dakwah dan harakah karena tanpa tarbiyah tidak akan dapat meneruskan dakwah. Tarbiyah akan menciptakan kader dan generasi penerus dakwah itu sendiri. Keutamaan lainnya adalah melihat isu kontemporer dan mencari jalan keluar yang dapat mengembangkan pengaruh di tengah masyarakat misalnya kerja dakwah dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran, pengobatan, dan pendidikan yang membawa ke arah kesuksesan.

E. AL Waqiiyah (Realitas)

Dakwah yang sesuai dengan realitas ini merupakan sunnah dan minhaj dakwah Islamiyah. Dakwah mesti membumi di tempat mana ia berpijak, jangan melangit sehingga tidak dapat diamalkan di dalam kehidupan sehari-hari mad’u. Keadaan yang mempertimbangkan realitas ini secara berkesan dicontohkan oleh Nabi dalam berdakwah di Mekah ataupun di Madinah. Jahiliyah di masa itu yang sangat kuat memungkinkan untuk menghancurkan Islam secara cepat tetapi dakwah Nabi secara bertahap dan pasti yang memulainya dengan rahasia dan kemudian dengan cepat mempersiapkan keadaan di Madinah. Dakwah secara non kontroversial adalah pendekatan yang dibawa oleh Nabi sebagi pendekatan hasil observsinya atas realitas yang ada di masyarakat saat itu. Banyak lagi contoh lainnya yang dapat dijadikan pelajaran oleh umat Islam saat ini.

F. Al Mutawazinat (Seimbang)

Dakwah yang seimbang bermaksud dakwah yang memperhatikan semua keperluan al akh dan Islam secara keseluruhan dan memenuhinya dengan seimbang. Aktivis dakwah juga menghendaki keperluan pribadi dan keluarganya agar terpenuhi sehingga dakwah perlu memberikan peluang kepada aktivis dakawah untuk memelihara dan menjaga keperluannnya. Pelajar memerlukan waktu belajar dan mesti emndapatkan nilai yang tinggi, ia pun perlu bertemu dengan orangtua di kampung halaman. Keperluan di dalam menjalankan dakwah seperti keperluan ruhiyah, aqliyah, dan amaliyah. Keseimbangan ini sesuai dengan prinsip keseimbangan yang Allah terapkan kepada makhlukNya. Dengan seimbang ini maka setiap aktivis merasakan senang dan bahagia.

Dalil

    • Q.S 3:79. Hendaklah kamu menjadi rabbani yang kamu mengajarkan kitab dan kamu membacanya.
    • Q.S 3:146. Berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama orang rabbani. Mereka itu tidak pengecut, karena bahaya yang menimpa mereke pada jalan Allah dan tiada lemah dan tiada pula tunduk dan Allah mengasihi orang-orang yang sabar.
    • Q.S 12:108. Katakanlah:” Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.

Ringkasan.

    • Kondisi kaum muslimin hari ini dilihat dari kelemahan-kelemahan kaum muslimin yaitu aqidah, tarbiyah, tsaqofah, dakwah, pengorganisasian dan akhlak.
    • Hal ini harus diperbaiki dengan dakwah harakiyah yang integral yang bersifat rabbaniyah, minhajiyah, marhaliyah dan ulawiyah.
    • Sesuai dengan realitas dan seimbang.

(Di sadur H. Ahmad Saikhudin dari berbagai sumber)

Kamis, April 17, 2008

MuslimahPeranan dan Kontribusinya dalam Pembangunan


Muslimah : Peranan dan Kontribusinya dalam Pembangunan

By: H. Ahmad Saichudin (Yayasan Ar Risalah Batam)

Bagaimana Islam memandang wanita

Bt`ô ãtJÏ@Ÿ ¹|»=Îs[$ BiÏ` Œs2Ÿ@ &rr÷ &éR\sÓ4 rudèqu Bãs÷BÏ`Ö ùs=nZãsó͏tZ¨mç¼ myuq4oZ ÛsŠhÍ6tpZ ( ru9sZufỗtY¨gßOó &r_ôtdèN /Î'rmô¡|`Ç Bt$ 2Ÿ$Rçq#( ƒtè÷Jy=èqbt ÈÐÒÇ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.”(QS An Nahl-16:97).

Ayat ini menekankan, bagi laki-laki maupun wanita yang mengerjakan amal-amal shalih (pekerjaan yang bermanfaat) asal dia beriman, maka kedudukan dan pahalanya sama di hadapan Allah SWT. Tidak ada perbedaan, karena Islam mengajarkan tentang persamaan derajat dalam segala hal sesuai dengan kodrat dan ketentuan yang telah Allah ciptakan dan atur.

Dalam ayat yang lain, dengan indah Allah SWT menjelaskan :

)Îb¨ #$9øJß¡ó=ÎJÏüúš ru#$9øJß¡ó=ÎJy»MÏ ru#$9øJßs÷BÏZÏüúš ru#$9øJßs÷BÏYo»MÏ ru#$9ø)s»ZÏGÏüût ru#$9ø)s»ZÏFt»MÏ ru#$9Á¢»Ï%Ïüût ru#$9Á¢»Ï%s»MÏ ru#$9Á¢»9ÉŽÎïût ru#$9Á¢»9ÉŽuºNÏ ru#$9øy»±ÏèÏüût ru#$9øy»±Ïèy»MÏ ru#$9øJßFtÁ|dÏ%Ïüût ru#$9øJßFtÁ|dÏ%s»MÏ ru#$9Á¢»¯´ÍJÏüût ru#$9Á¢»¯´ÍJy»MÏ ru#$:øtp»ÿÏàÏüúš ùèãr_ygßNö ru#$9øsy»ÿÏàs»MÏ ru#$!%©º2ōÌïúš #$!© .xVύŽZ# ru#$!%©º2ōtºNÏ &rãt£ #$!ª ;mlçM B¨óøÿύtoZ ru&r_ô·# ãtàÏJV$ ÈÎÌÇ

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”(QS Al Ahzab-33:35)

Sesungguhnya potensi-potensi kebaikan, tidak hanya di berikan kepada kaum laki-laki saja, tapi juga kepada kepada perempuan. Hal inilah yang di protes oleh seorang wanita suku Anshar yang bernama Umu Amarah Al-Anshariyah tentang kecilnya peran muslimah, sehingga turunlah Surat AlAhzab ayat 35 di atas.

Memulai dari Rumah suaminya

Kontribusi besar seorang muslimah adalah di mulai dari rumah suaminya. Di dalamnya, ia melayani suaminya dengan sebaik-baiknya, menjaga kehormatan dan harta suaminya, membesarkan dan mendidik anak-anak yang lahir dari rahimnya hingga menjadi mujahid-mujahid da’wah dan generasi Rabbani, berpakaian yang memenuhi syariat dan menyenangkan suaminya serta mewujudkan rumahnya sebagai surga bagi suami dan semua anggota keluarga (Baiti Jannati).

“Sebaik-baik wanita adalah kamu memandangnya bias menyenangkan, kalau kamu perintah ia mematuhimu, kalau kamu beri bagian ia bias menerimanya, dan kalau kamu pergi ia akan menjaga dirinya dan menjaga hartamu.” (HR An Nasa’I dll)

Sebagian orang mengatakan bahwa, di balik laki-laki besar pasti ada wanita yang besar. Sejarah telah membuktikan semua ini. Lihat Sarah dengan Ibrahim. Safura dengan Musa, Khadijah dan RasuluLLah, Fatimah dan Ali bin Abu Thalib, Lathifah Suri dengan Imam As Syahid Hasan Al Banna dll.

Maka mulailah dari rumah untuk mewujudkan cita-cita besar ummat ini, yaitu mewujudkan kemuliaan islam dan pembangunan di segala bidang hingga mewujudkan kota yang madani. Semua pasti membutuhkan peran kita bersama, baik laki-laki maupun wanita karena Allah telah menciptakan dengan potensi kita masing-masing untuk melengkapi dan mengisi.

Keterlibatan wanita muslimah di luar rumahnya

Aisyah: Meneladani Muslimah sang pendidik

Tidak di ragukan lagi, berapa banyak hadist yang di riwayatkan oleh sayyidah Aisyah istri baginda RasuluLlah SAW. Bahkan sepeninggal RasuluLLah, beliau sempat memimpin pasukan perang dan berpidato di hadapan pasukan untuk mengobarkan semangat juang padahal diantara pasukan itu ada banyak sahabat senior zaman RasuluLLah. Hal ini terjadi ketika ada pemberontakan dan timbul fitnah di era pemerintahan Khalifah mulia yang lembut hati, Sayyidina Usman bin Affan. Walaupun, tidak semua istri Rasul setuju dengan pendapat ini (bolehnya keluar rumah), tapi sesungguhnya peristiwa yang melibatkan Sayyidah Aisyah ini tidak menafikan peran muslimah di luar rumah dengan syarat masih memenuhi kaidah-kaidah Syar’I dalam berpakaian, pergaulan dan hal-hal yang tidak menyalahi kodrat sebagai seorang wanita. (Muslimah Masa Kini:Dr Muhammad al Habsy Hal.35-42. Penerbit Mujahid Press 2004).

RasuluLLah dalam salah satu hadistnya pernah bersabda:”Keutamaan Aisyah di antara wanita lainnya, laksana Ats-Tsarid (bubur roti yang di rendam dengan kuah) di antara semua makanan”. (HR Bukhari-Muslim-Tirmidzi dan An Nasa’I dari Anas. Shahih Bukhari No. 3230)

Dari Anas bin Malik “Ketika terjadi perang Uhud, kaum muslimin tercerai berai dari RasuluLLah SAW, dia berkata: Saya melihat Aisyah binti Abu Bakr dan Umu sulaim, keduanya menyingsingkan sehingga saya melihat gelang kaki keduanya berlari sambil membawa kantong air. Dalam riwayat lain: Keduanya memindahkan kantong air sebatas kemampuan merek, kemudian menuangkannya ke dalam mulut-mulut kaum (prajurit), kemudian kembali lagi untuk mengisi kantong air dan menuangkan ke mulut-mulut kaum lagi”.(HR Bukhari No. 2724. kitab Jihad dan Perjalanan).

Siapakah Wanita muslimah perkasa itu?

Di antara yang saya sebutkan di bawah mungkin masih banyak lagi sosok wanita muslimah yang punya kontribusi besar terhadap kemuliaan dan kemajuan islam.

Dalam bidang pendidikan kita menemukan :

Aisyah binti Abu Bakr. Hampir semua sahabat/sahabiah mengambil ilmu dan manfaat darinya dalam masalah keilmuan dan hadist dari RasuluLLah SAW, Asma binti Amis, Hafsah binti Umar bin Khatab, Ummu Darda As Sughra.

Tentang hak seorang muslimah dalam Rumah tangga kita menemukan Khaulah binti Tsa’labah yang pernah menggugat RasuluLLah tentang suaminya sehingga turunlah surat al Mujadilah (Wanita yang menggugat). Asma binti Bakr bekerja mengangkat biji gandum diatas kepalanya dan mencarikan makan kuda milik Zubair bin Awwam suaminya. Begitu juga sayyidatina Fatimah AzZahra binti RasuluLLah menggiling gandum dengan tangganya hingga melepuh untuk memenuhi kebuthan sehari-harinya.

Pada era saat ini kita juga menemukan banyak wanita muslimah yang berperan di banyak sektor pembangunan. Majalah Tarbawi edisi Desember 2005 menampilkan sosok Suzaina Kadir.P.Hd Political Scientist di National University of Singapore (NUS). Selain itu muslimah juga bisa berkiprah sebagai seorang pengarang dan Penulis buku, menyuarakan aspirasi rakyat lewat Parlemen, menjadi seorang bisniswati dan lain-lain tapi tetap menjaga komitment syar’inya atau tetap di rumah tapi menjadi sosok Lathifah Suri bagi Hasan Al Banna yaitu menyokong gerak suami untuk menjadi cahaya artinya ia menjadi cahaya di balik cahaya.

Kita tidak perlu memperdebatkan masalah ini dengan berlarut-larut, tapi bagaimana mengambil nash yang di yakini dengan garis bawah ketentuan syariat sebagaimana yang saya ungkapkan di atas. Menjadi seorang Saudah binti Zum’ah atau Zainab binti Jahsy semua adalah pilihan yang baik sesuai dengan potensi yang di berikan Allah SWT kepada setiap muslim-ah.

SELAMAT DATANG..AHLAN WA SAHLAN..WELCOME..SUGENG RAWUH..

Ahlan wa sahlan......Met berkunjung
Harapan semoga tercerahkan dan bermanfaat.