Semua tuliasan dari Al Ustadz Drs.Ahmad Yani Ketua Yayasan Khoiru Ummah Jakarta.
Seperti janji saya di postingan sebelumnya. Semoga bisa bermanfaat untuk para/calon duat, mubaligh/at, Khotib dll.
TANGGUNG JAWAB DAKWAH
Secara harfiyah, dakwah berasal dari kata da’a, yad’u, da’watan yang artinya panggilan, seruan atau ajakan. Maksudnya adalah mengajak dan menyeru manusia agar mengakui Allah Swt sebagai Tuhan yang benar lalu menjalani kehidupan sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya yang tertuang dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian, target dakwah adalah mewujudkan sumber daya manusia yang bertaqwa kepada Allah Swt dalam arti yang seluas-luasnya.
Dalam kehidupan masyarakat, khususnya kehidupan umat Islam, dakwah memiliki kedudukan yang sangat penting. Dengan dakwah, bisa disampaikan dan dijelaskan ajaran Islam kepada masyarakat sehingga mereka menjadi tahu mana yang haq dan mana yang bathil, bahkan dakwah yang baik bukan hanya membuat masyarakat memahami yang haq dan bathil itu, tapi juga memiliki keberpihakan kepada segala bentuk yang haq dengan segala konsekuensinya dan membenci yang bathil sehingga selalu berusaha menghancurkan kebathilan. Manakala hal ini sudah terwujud, maka kehidupan yang hasanah (baik) di dunia dan akhirat akan dapat dicapai.
KEWAJIBAN DAKWAH
Karena dakwah memiliki kedudukan yang sangat penting, maka secara hukum dakwah menjadi kewajiban yang harus diemban oleh setiap muslim, Ada banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai rujukan untuk mendukung pernyataan wajibnya melaksanakan tugas dakwah, baik dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi. Diantaranya adalah dalil berikut ini:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (QS 16:125).
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS 3:104).
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (QS 3:110).
بَلِّغُوْا عَنِّى وَلَوْ آيَةً.
Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat (HR. Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi).
KEUTAMAAN DAKWAH
Manakala dakwah bisa kita tunaikan dengan sebaik-baiknya, banyak keutamaan yang akan kita peroleh, antara lain; Pertama, memperoleh derajat yang tinggi di sisi Allah dengan dikelompokkan ke dalam kelompok umat yang terbaik (khairu ummah) sebagaimana yang disebutkan pada QS 3:110 di atas.
Kedua, memperoleh pahala yang amat besar, hal ini karena dalam satu hadits Rasulullah Saw menyatakan:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرِ فَلَهُ مِثْلَ اَجْرِفَاعِلِهِ.
Barangsiapa yang menunjukkan pada suatu kebaikan, maka baginya seperti pahala orang yang mengerjakannya (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tirmudzi).
Namun perlu diingatkan bahwa hadits di atas jangan sampai disalahpahami sehingga seseorang hanya mau berdakwah dengan pahala yang besar, lalu tidak mau mengamalkan apa yang didakwahinya itu, bila itu yang terjadi, tentu murka Allah yang lebih besar yang akan kita peroleh. Hadits di atas merupakan keutamaan dan suatu keutamaan sebesar apapun yang akan kita peroleh tidak akan sampai bisa menggugurkan kewajiban yang harus kita tunaikan.
Ketiga, dakwah yang baik juga berarti telah dapat membuktikan keimanan pribadi seorang da’i yang benar, karena dakwah yang baik adalah dakwah yang disampaikan setelah diamalkannya, bukan kontradiksi antara pesan da’wah dengan prilaku sang da’i, Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ.كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS 61:2-3).
Keempat, memperoleh keberuntungan, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat sebagaimana sudah disebutkan pada QS 3:104 di atas.
Kelima, terhindar dari laknat Allah, hal ini dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ.كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa Putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu (QS 5:78-79).
Keenam, memperoleh rahmat atau kasih sayang Allah, ini merupakan sesuatu yang sangat didambakan oleh seorang muslim dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat, hal ini difirmankan Allah Swt:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mncegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS 9:71).
TAHAPAN DAKWAH.
Dalam menunaikan tugas dakwah, ada tahapan-tahapan yang harus diperhatikan dan ditempuh. Syeikh Mustafa Masyhur dalam bukunya Tariq Ad Dakwah menyebutkan tiga tahapan (marhalah) dakwah yang harus dilalui. Pertama, ta’rif (penerangan/propaganda), tahap ini adalah memperkenalkan, menggambarkan ide dan menyampaikannya kepada khalayak ramai pada setiap lapisan masyarakat. Kedua, takwin (pembinaan/pembentukan), yaitu tahap pembentukan, pemilihan pendukung dakwah, menyiapkan mujahid dakwah serta mendidiknya. Ketiga, tanfidz (pelaksanaan), yaitu tahap beramal, berusaha dan bergerak guna mencapai tujuan dalam dakwah.
Dengan demikian, dakwah merupakan perjalanan yang panjang dan berliku. Karena itu, para aktifis dakwah harus menyiapkan diri semaksimal mungkin agar bisa menunaikan tugas ini dengan baik dan siap menghadapi segala tantangannya.
PENYULUH KEBANGKITAN.
Dalam kondisi masyarakat muslim yang sedang tidur, lesu, lemah dan mengalami keterbelakangan, dakwah amat diperlukan sebagai penyuluh guna membangkitkan umat dan meraih kembali kejayaannya yang telah hilang. Oleh karena itu, manakala dakwah bisa kita tunaikan dengan sebaik-baiknya dengan dukungan sumber daya manusia yang andal, dana yang cukup, sarana yang memadai, metode yang tepat dan kemasan yang menarik, maka masyarakat muslim yang baru dapat kita wujudkan, insya Allah sebagai umat yang terbaik. Dengan kata lain, dakwah merupakan upaya merekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur kejahiliyahan menjadi masyarakat yang islami, ini berarti dakwah merupakan upaya melakukan islamisasi dalam seluruh sektor kehidupan manusia.
Untuk itu keterlibatan setiap muslim di dalam dakwah menjadi suatu keharusan, sesuai dengan potensi yang dimilikinya masing-masing. Terbentuknya pribadi yang islami, keluarga yang islami dan masyarakat yang islami merupakan target yang ingin dicapai dalam dakwah. Target ini memerlukan dukungan setiap muslim, apalagi dakwah itu bukanlah hanya berbentuk ceramah dan khutbah. Tegasnya, apapaun potensi dan kemampuan yang kita miliki, semua itu dapat kita gunakan untuk kepentingan dakwah.
URGENSI TARBIYYAH BAGI PARA DA'I
Dakwah merupakan tugas yang mulia sehingga dengan melaksanakan tugas ini kita akan mendapatkan keutamaan yang sangat besar. Hal ini karena melaksanakan tugas dakwah berarti melanjutkan tugas yang diemban kepada Nabi Muhammad Saw, bahkan para Nabi sebelumnya. Meskipun tugas ini sangat mulia, namun kita rasakan tugas ini sangat berat. Paling tidak ada dua alasan mengapa tugas ini terasa berat. Pertama, dakwah dituntut semakin meluaskan wilayahnya sehingga dakwah tersebar kemana-mana, ke kota dan desa-desa, dari satu negara ke negara lain. Kedua, dakwah dituntut semakin meluaskan bidang garapnya sehingga dakwah bukan hanya berupa ceramah dan khutbah, tapi mewujudkan kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa serta tatanan dunia yang baik.
Untuk bisa melaksanakan tugas dakwah yang mulia tapi berat itu, para da'i harus mempersiapkan diri dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya sehingga ia tidak merusak citra dakwah dan citra da'i serta bisa melaksanakan tugas-tugas dengan sebaik-baiknya.
PENGERTIAN TARBIYYAH.
Secara harfiyah, tarbiyah berasal dari tiga akar kata. Pertama, rabaa-yarbuu yang artinya bertambah dan berkembang. Kedua, rabiya-yarbaa yang artinya tumbuh dari kecil menjadi besar. Ketiga, rabba-yarubbu yang artinya memperbaiki, menangani urusan, membimbing, memelihara dan menjaga. Dari makna kata tarbiyah di atas, dapat kita definisikan bahwa tarbiyah Islamiyah adalah membimbing dan memelihara jasmani, rohani dan akal serta keinginan manusia hingga mencapai kesempurnaan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaannya yang suci.
URGENSI TARBIYYAH.
Bagi setiap muslim, apalagi sebagai da'i, tarbiyah memiliki kedudukan yang sangat penting. Paling tidak ada tiga nilai penting dari tarbiyah islamiyah.
- Menyuburkan pertumbuhan iman, taqwa dan ilmu pengetahuan sehingga ibarat tanaman, tarbiyah itu seperti pupuk dan air yang harus diberikan secara rutin. Dalam tarbiyah, seorang murabbi tidak hanya mentransfer ilmu, tapi juga memutabaah pengamalannya bagi mutarabbi, sedangkan sebagai murabbi iapun harus terus membina dirinya dengan baik.
- Membekali diri dengan ilmu, pengalaman dan dinamika dalam dakwah. Hal ini karena seorang murabbi harus mengajarkan ilmu, sedangkan mutarabbi harus mengembangkan diri lagi menjadi murabbi dan begitulah seterusnya. Kedua belah pihak, yakni murabbi dan mutarabbi saling memberi pengalaman untuk kemaslahatan dakwah dan pengembangan diri.
- Mengokohkan hubungan dengan sesama karena dalam tarbiyyah sangat ditekankan terbangunnya kebersamaan dalam mengemban tugas-tugas dakwah.
Adapun ruang lingkup tarbiyah mencakup tiga aspek yang membuat terasa penting tarbiyyah itu bagi para da'i.
- Tarbiyah ruhiyah (pembinaan rohani) sehingga masing-masing orang dekat dan ingat kepada Allah Swt yang membuatnya tidak akan menyimpang dari ketentuan Allah Swt.
- Tarbiyyah aqliyah (pembinaan akal) sehingga masing-masing orang, baik sebagai murabbi (pendidik) maupun mutarabbi (orang yang dibina) memperoleh dan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.
- Tarbiyyah jasadiyah (pendidikan jasmani) sehingga murabbi dan mutarabbi terbina jasmaninya hingga menjadi sehat dan memiliki daya tahan tubuh.
KEWAJIBAN DA'I
Dalam konteks tarbiyah, para da'I harus menyadari akan kewajibannya yang antara lain:
- Kewajiban kepada Allah Swt dan Rasul-Nya dengan mengokohkan iman dan taqwa sehingga selalu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
- Kewajiban terhadap dirinya dengan selalu menjaga kesehatan jasmani, menambah ilmu pengetahuan, memperindah diri dengan akhlak yang mulia dan mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan dirinya.
- Kewajiban terhadap keluarga dengan selalu memberi contoh yang baik, mendidik, menyayangi, melindungi, memberi perhatian dan menafkahi dengan rizki yang halal dan cukup. Terhadap kerabat atau keluarga besarnya, seorang da'I juga akan selalu menjalin hubungan dengan sebaik-baiknya.
- Kewajiban terhadap orang lain dengan selalu menjalin hubungan yang sebaik-baiknya dan memenuhi hak serta kewajiban terhadap sesama.
Dari uraian umum di atas, nampak sekali bahwa seorang da'I harus mendapat pembinaan yang kontinyu sehingga keshalihannya terpelihara, wawasannya semakin luas, kemampuannya semakin meningkat, mampu menghadapi tantangan hidup dan perjuangan serta selalu optimis menghadapi hari esok, sesulit apapun keadaan yang dihadapinya.
AKHLAQ DA’I
Dakwah merupakan usaha menyeru, mengajak dan mengarahkan manusia dari kehidupan yang tidak Islami kepada kehidupan yang Islami. Tugas ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim, baik pria maupun wanita, remaja maupun orang dewasa dan seterusnya. Ini berarti, dakwah bukan hanya kewajiban mereka yang selama ini kita sebut dengan ustadz, kiayi, ulama dan muballigh. Dengan demikian siapa saja yang berdakwah bisa disebut sebagai da’i meskipun latar belakang pendidikannya bukan dari jenjang pendidikan keagamaan yang formal dan profesinyapun berbeda-beda.
Dalam berdakwah, tentu saja seorang da’i menghendaki keberhasilan, dan ukuran keberhasilan dakwah adalah terjadinya perubahan pada diri orang yang didakwahi dari kehidupan yang tidak baik kepada kehidupan yang baik, dari benci kepada Islam kepada mencintai. Tegasnya, objek dakwah bisa berubah dari keadaan yang apa adanya kepada keadaan yang seharusnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Keberhasilan dalam dakwah tidaklah semata-mata ditentukan oleh kemampuan sang da’i, tapi juga sebagai faktor terpentingnya adalah kepribadian sang da’i itu sendiri, yaitu memiliki akhlaq yang mulia.
Pada dasarnya akhlaq seorang da’i itu tercermin dari pesan-pesan dakwah yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Jika dalam dakwahnya ia selalu berpesan agar manusia menegakkan shalat, maka shalat itu memang sudah dilaksanakannya, kalau ia menganjurkan orang untuk berinfaq, maka infaq memang sudah dilaksanakannya. Begitulah seterusnya.
Manakala terjadi kontradiksi antara apa yang dikatakan dengan prilakunya sehari-hari, seorang da’i bukan hanya tidak akan memperoleh nilai yang baik dari Allah, tapi dia malah mendapatkan murka dari Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ.كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan (QS: 61:2-3).
Bahkan lebih tegas lagi, orang yang demikian dianggap oleh Allah seperti orang yang tidak punya akal, sebagaimana firman Allah:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ.
Mengapa kalian suruh orang lain (melakukan) kebajikan, sedangkan kamu melupkan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat) maka tidakkah kamu berakal? (QS: 2:44)
Dakwah yang dilakukan tanpa mengamalkan pesan-pesan dakwahnya akan sangat sulit untuk bisa diterima oleh sang mad’u sampai ke dalam hatinya. Padahal memasukkan pesan-pesan dakwah tidak hanya sampai ke “kepala” orang lain dalam arti bukan sekedar untuk dipahami tapi juga harus dilaksanakan yang membuat terjadinya perubahan dan orang akan melaksanakannya kerena dorongan dari hati. Hal ini diumpamakan seperti orang melempar batu ke dalam air, mestinya batu itu tenggelam ke dasar air, tapi yang terjadi batu itu hanya mengambang di atas permukaan air, batu itu disebut dengan batu apung. Dakwah yang dilakukan tanpa pengamalan yang baik bisa diumpamakan seperti orang yang melempar batu ke air, tapi batunya hanya mengambang di atas permukaan air karena batu yang dilemparkan adalah batu apung.
CIRI AKHLAQ DA’I
Pembicaraan tentang akhlaq tentu saja sangat luas. Karena itu pembicaraan dalam konteks akhlaq untuk para da’i bisa kita batasi dalam bentuk ciri-ciri akhlaq da’i. Paling kurang ada lima sifat yang berkaitan dengan akhlaq yang harus ada pada diri seorang da’i.
1. Hubungan Yang Dekat Kepada Allah
Da’i adalah pembawa misi dari Allah. Karena itu mutlak bagi seorang da’i untuk memperkokoh hubungan yang dekat kepada Allah Swt, apalagi dakwah itu sendiri memang bermaksud mendekatkan manusia kepada Allah Swt. Hubungan yang dekat dari seorang da’i kepada Swt Allah adalah dalam bentuk tumbuhnya perasaan pada dirinya akan selalu merasa dilihat atau diawasi oleh Allah Swt. Tumbuhnya perasaan ini membuat seorang da’i tidak berani melakukan penyimpangan atau penyelewengan dari jalan yang telah ditentukan-Nya, ini yang memang dikehendaki oleh-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ.
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari suatu urusan, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (QS 45:18).
Untuk bisa menumbuhkan perasaan dekat kepada Allah itulah, ajaran Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji serta bentuk-bentuk peribadatan lainnya seperti tilawah Al-Qur’an, wirid/dzikir dan sebagainya harus dilaksanakan oleh seorang muslim apalagi bagi seorang da’i.
2. Ikhlas Dalam Berdakwah
Dakwah Islam tentu saja menuntut adanya keikhlasan dalam pelaksanaannya oleh seorang da’i. Ini berarti, seorang da’i harus berdakwah hanya semata-mata karena Allah Swt bukan karena-karena yang lain. Manakala keikhlasan telah tertanam dalam pelaksanaan tugas dakwahnya, maka seorang da’i akan terus melaksanakan tugas dakwahnya itu meskipun banyak orang yang tidak menyukainya, bahkan dia tetap akan berdakwah meskipun tidak ada orang yang memujinya dan juga tidak akan bertambah semangat dalam berdakwah karena mendapat pujian dari manusia.
Dengan keikhlasan, seorang da’i akan melaksanakan tugas dakwah dengan hati yang ringan meskipun sebenarnya tugas yang dilaksanakan itu berat, sebaliknya, tanpa keikhlasan, meskipun ringan tugas yang akan dilaksanakan, dia akan merasakan sebagai sesuatu yang berat. Perintah harus berlaku ikhlas terdapat dalam firman Allah:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ.
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan penuh keihlasan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS. 98:5).
3. Shabar Dalam Berbagai Keadaan
Dakwah merupakan tugas yang secara duniawi bisa merasakan ada enak dan ada tidaknya. Dakwah menjadi enak dari sisi duniawi apabila banyak orang yang mengikutinya, para pengikut itu kemudian memberikan penghormatan kepada sang da’i, baik dari segi status sosial sampai kepada materi sehingga tidak sedikit para da’i yang telah mencapai kecukupan materi bahkan kelebihan. Namun sebaliknya dakwah adakalanya memperoleh hal-hal yang tidak menyenangkan, hal-hal yang tidak enak seperti caci maki, permusushan, pemboikotan sampai kepada pembunuhan.
Terlepas dari enak dan tidak enak, seorang da’i yang baik akan selalu sabar menghadapinya, sabar dalam arti tetap berpendirian pada yang benar. Kesulitan tidak membuatnya putus asa dari kemungkinan mencapai keberhasilan dakwah dan kesenangan tidak membuatnya menjadi lupa diri hingga tidak berani lagi mengatakan dan menegakkan yang haq (benar). Kesabaran seperti inilah yang membuat seorang da’i akan memperoleh keberuntungan dunia maupun akhirat, Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (diperbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung (QS. 3:200).
4. Menggunakan Pembicaraan Yang Baik
Tugas utama dari dakwah adalah penyampaian ajaran Islam, salah satu bentuk penyampaiannya adalah melalui pembicaraan. Karena itu seorang da’i harus berbicara dengan kata-katanya yang baik, baik menyangkut isi pembicaraan, pilihan kata yang tetap sampai kepada gaya bicara yang sesuai dengan misi dakwahnya.
Kemampuan seorang da’i menggunakan pembicaraan yang baik membuat dia termasuk orang yang mampu membuktikan keimanannya kepada Allah Swt dan hari akhir, dalam kaitan ini Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِفَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْلِيَصْمُتْ.
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata yang baik atau diam.(HR. Bukhari dan Muslim)
5. Memiliki Kesungguhan Dalam Berdakwah
Dakwah sebenarnya tugas yang berat, karena itu tidak sedikit orang yang telah berjatuhan dari jalan dakwah, baik berjatuhan karena hal-hal yang menguntungkan dirinya seperti pengaruh di masyarakat yang semakin besar, penghormatan masyarakat kepadanya yang kadangkala berlebihan maupun jatuh karena hal-hal yang merugikan dirinya seperti beban dan tanggung jawab yang terlalu besar dan sebagainya. Dalam kaitan ini seorang da’i sangat dituntut untuk memiliki kesungguhan dalam berdakwah sebab dengan kesungguhan itulah jalan yang licin dan mulus bisa dilalui dengan baik tanpa melakukan penyimpangan atau hal-hal yang tidak wajar dan hal-hal yang tidak menyenangkan bisa dihadapi dengan hati-hati tanpa harus berputus asa.
Manakala seorang da’i bisa nemiliki kesungguhan, maka dia akan memiliki kesanggupan untuk menanggung segala resiko. Kesungguhan membuat seorang da’i akan berjuang dengan sebenar-benarnya, hal ini karena dia memang yakin bahwa Allah Swt tidak bermaksud menyempitkan hati dan pikiran hamba-hamba-Nya yang berjuang, Allah berfiman:
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ.
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (QS. 22:78).
Dari gambaran diatas. Kita semakin menyadari bahwa dakwah itu tidak hanya semata-mata menyampaikan ajaran Islam, tapi juga ada konsekuensi dari penyampaian itu, yakni memiliki integritas pribadi seorang da’i yang tidak diragukan, syakhshiyyah da’iyah (kepribadian seorang da’i) seperti inilah yang membuat pesan-pesan dakwah menjadi “berat” dan bisa tenggelam ke dalam lautan hati manusia sehingga dari sinilah umat manusia akan tergerak untuk mewujudkan Islam dalam kehidupan mereka.
FIQHUD DAKWAH
Sebagaimana sudah kita pahami, scara harfiyah, dakwah berasal dari kata da’a, yad’u, da’watan yang artinya panggilan, seruan atau ajakan. Maksudnya adalah mengajak dan menyeru manusia agar mengakui Allah Swt sebagai Tuhan yang benar lalu menjalani kehidupan sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya yang tertuang dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian, target dakwah adalah mewujudkan sumber daya manusia yang bertaqwa kepada Allah Swt dalam arti yang seluas-luasnya.
Dalam kehidupan masyarakat, khususnya kehidupan umat Islam, dakwah memiliki kedudukan yang sangat penting. Dengan dakwah, bisa disampaikan dan dijelaskan ajaran Islam kepada masyarakat sehingga mereka menjadi tahu mana yang haq dan mana yang bathil, bahkan dakwah yang baik bukan hanya membuat masyarakat memahami yang haq dan bathil itu, tapi juga memiliki keberpihakan kepada segala bentuk yang haq dengan segala konsekuensinya dan membenci yang bathil sehingga selalu berusaha menghancurkan kebathilan. Manakala hal ini sudah terwujud, maka kehidupan yang hasanah (baik) di dunia dan akhirat akan dapat dicapai.
Karena itu, ada Empat strategi dakwah yang harus dicapai. Pertama. Terbentuknya pribadi yang islami sehingga setiap orang yang menjadi objek dakwah (mad'u) dapat membentuk diri mereka menjadi orang-orang yang shaleh, baik keshalehan kepada Allah Swt dalam bentuk selalu mengabdi kepada-Nya dengan tidak mensekutukan-Nya dengan apapun dan siapapun juga meskipun dalam skala yang kecil yakni riya dalam beramal. Begitu pula halnya dengan keshalehan sosial yang ditunjukkan dengan berlaku baik kepada sesama manusia. Dengan sifat pribadi yang mulia itulah seseorang akan bisa berinteraksi, bergaul bahkan bersaudara secara baik dengan sesama manusia pada umumnya, apalagi sesama muslim pada khususnya. Dengan memiliki keshalehan pribadi hubungan sosial antar sesama manusia akan terlihat dan terasa menjadi begitu indah. Itu sebabnya, permusuhan antar sesama manusia tidak pernah dimulai oleh kaum muslimin. Dalam hadits Rasulullah saw, dinyatakan bahwa pangkal keshalihan pribadi ini adalah berlaku benar atau jujur karena hal ini akan membawa pada kebajikan (al birru) yang merupakan perpaduan segala kebaikan (al khair), Rasulullah Saw bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَاِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى اِلَى الْبِرِّ وَاِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى اِلىَ الْجَنَّةِ
Wajib atas kamu berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu akan membimbing kamu kepada kebajikan dan kebajikan itu akan membimbing kamu kepada surga (HR. Bukhari)
Kedua, terbentuknya keluarga yang Islami, yakni keluarga yang dapat menunjukkan profil keislaman dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga keharmonisan. Dari sinilah masing-masing anggota keluarga mampu memperlakukan dan menjalin hubungan sesama anggota keluarganya dengan sebaik-baiknya. Sebab bagaimana mungkin seseorang bisa berlaku baik kepada orang lain bila ia tidak bisa berlaku baik kepada keluarganya sendiri. Karena itu, kita sangat prihatin dengan banyaknya kasus kekerasan pada keluarga, baik yang dilakukan suami kepada isteri maupun kekerasan yang dilakukan isteri kepada suaminya, bahkan kekerasan orang tua kepada anak, apalagi kekerasan anak kepada orang tuanya. Dalam Islam, kehidupan keluarga yang baik merupakan basis yang sangat penting bagi terwujudnya kehidupan masyarakat yang baik, bahkan dapat berlaku baik kepada keluarga menjadi salah satu dari ukuran kebaikan seseorang dalam kehidupan ini, karena itu Rasulullah Saw sangat berlaku baik kepada keluarganya, baik kepada isteri-isterinya maupun anak dan cucu. Rasulullah Saw bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِى
Sebaik-baik kamu adalah yang yang paling baik kepada keluarga, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku (HR. Ibnu Asakir).
Dalam kaitan pembentukan keluarga yang Islami itu pula, Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS 66:6)
Ketiga, terbentuknya masyarakat dan bangsa yang Islami, yakni masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai moral dan hukum sehingga mereka bukan hanya saling hormat-menghormati, bantu-membantu dan ikut memecahkan persoalan serta memenuhi hak-hak dan kewajiban, tapi juga menegakkan hukum secara adil bahkan siap menerima peraturan dan sanksi bila melakukan kesalahan. Begitulah masyarakat masyarakat madani yang dibangun oleh Nabi di Madinah, masyarakat yang berbasis masjid dengan nilai-nilai Islam yang kokoh sehingga menjadi masyarakat terbaik dengan menunjukkan nilai-nilai kebajikan dimanapun mereka berada, Allah Swt berfirman:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّيْنَ وَءَاتَى الْْْْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنَ وَابْنََ السَّبِيْلِ وَالسَّائِلِيْنَ وَفِى الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَوةَ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا وَالصَّابِرِيْنََ فِى الْبَأْسَآءِ وَالضَّرَّآءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِ أُوْلَئِكَ الَّذِِيْنَ صَدَقُوْا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke timur dan ke barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya; mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa (QS 2:177).
Keempat, terbentuknya tatanan dunia yang islami, yakni terjalinnya hubungan antar bangsa yang saling hormat menghormati bahkan bantu membantu, hal ini karena manusia memang dicipta dengan sejumlah perbedaan, mulai dari perbedaan jenis kelamin hingga bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengan segala ciri khas mereka masing-masing. Untuk itu antar pribadi dan antar bangsa harus saling kenal-mengenal dalam kerangka taqwa kepada Allah Swt, Allah Swt berfirman: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS 49:13).
KAIDAH-KAIDAH DAKWAH
Untuk mencapai kesuksesan dakwah, Jum'ah Amin Abdul Aziz dalam bukunya Ad Da'wah, Qawaa'id wa Ushuul atau dalam edisi terjemahnya adalah "Fiqih Dakwah" mengemukakan kaidah-kaidah dakwah yang harus diperhatikan betul oleh para da'i. Karenanya perlu kita sederhanakan dalam memahami kaidah-kaidah dakwah ini.
1. Memberi Keteladanan Sebelum Berdakwah.
Dakwah adalah upaya mengubah orang dari keadaan yang apa adanya kepada yang seharusnya. Dengan dakwah orang yang tidak paham menjadi paham, orang yang benci kebenaran menjadi cinta, orang yang tidak baik menjadi baik. Karena itu, seorang da'I harus bisa menjadi teladan bagi orang lain. Prilaku dan amal para da'i adalah cerminan dari dakwahnya. Para da'i menjadi teladan dalam perbicaraan dan perbuatan. Prinsip yang dipegangnya adalah ashlih nafsaka wad'u ghairaka (perbaiki dirimu lalu ajaklah orang lain). Disamping itu prinsip lainnya adalah aqim daulatan Islami fi qalbika, taqum fi ardhika (tegakkan daulah Islam di hatimu, niscaya ia akan tegak di bumimu).
Oleh karena itu, sebagai seorang da'I, Rasulullah Saw menjadi teladan bagi manusia yang menjadi objek dakwahnya, Allah Swt berfirman: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS 33:21)
2. Mengikat Hati Sebelum Menjelaskan.
Sebenarnya dakwah bukan semata-mata menyampaikan nilai-nilai Islam lalu selesai, tapi bagaimana setelah disampaikan sang mad'u mau terikat dengan nilai Islam dan terikat bersama dalam barisan perjuangan. Karena itu, mengikat hati sang mad'u menjadi sesuatu yang sangat penting, hal ini karena Islam adalah agama rahmat (kasih sayang) yang bisa disarakan oleh hati yang terikat.
Oleh karena itu, Rasulullah Saw memiliki rasa kasih sayang kepada para sahabatnya dan mudah memaafkan mereka sehingga tetap kokoh dalam barisan perjuangan, Allah Swt berfirman: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahkan dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS 3:159)
3. Mengenalkan Sebelum Memberi Beban.
Islam merupakan agama yang harus diamalkan sehingga prinsip-prinsipnya menyatu dalam sikap dan tingkah laku. Sesudah itu setiap muslim harus terlibat dalam perjuangan menyebarkan dan menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat, ini merupakan beban yang tidak ringan. Karena itu, para mad'u harus mendapatkan pemahaman yang utuh tentang Islam sehingga mereka betul-betul memahaminya secara rinci dan mendalam, baik tentang diri, Tuhan, alam semesta hingga kehidupan akhirat.
Mengamalkan dan mendakwahkan Islam yang didasari oleh pemahaman menjadi landasan yang kokoh, karenanya setiap muslim dalam beramal harus berdasarkan pemahaman, bukan sekadar taqlid (ikut-ikutan), Allah Swt berfirman: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya (QS 17:36).
4. Bertahap Dalam Memberi Beban.
Mendidik manusia agar mau mentaati ketentuan Allah Swt dan meninggalkan kebiasaan dan pola hidup yang tidak sesuai dengannya merupakan perkara yang tidak mudah. Namun semua itu bisa dilakukan dan dicapai dengan salah satu faktornya adalah memperhatikan pentahapan (tadarruj). Oleh karena itu, pencapaian hasil-hasil dakwah harus diproses secara bertahap. Rasulullah Saw mencontohkan kepada kita bagaimana beliau memperhatikan betul soal pertahapan dalam dakwah. Kita tahu bahwa Rasul diutus untuk memperbaiki akhlak manusia, tapi yang pertama diajarkan dan ditanamkan ke dalam jiwa manusia adalah aqidah, iman atau tauhid, karena dari aqidah yang kokoh itulah akan terwujud akhlak yang mulia.
Dalam menetapkan hukum, Allah Swt juga menggunakan prinsip bertahap, begitulah diantaranya dalam penetapan haramnya minuman keras dan judi yang diturunkan ayat-ayat secara bertahap mulai dari memberikan pemahaman bahwa pada khamar dan judi itu terdapat dosa yang besar atau mudharat yang banyak meskipun ada manfaatnya, lalu turun ayat yang melarang shalat dalam keadaan mabuk agar berkurang frekuensi meminum minuman keras hingga akhirnya harus ditinggalkan secara total (lihat QS 2:219. 4:43. 5:90).
5. Mempermudah, Bukan Mempersulit.
Dakwah adalah mengajak orang untuk menerima Islam dan hidup secara Islami, karena itu, dakwah harus dilakukan dan disampaikan dengan menggunakan prinsip memudahkan karena memang Islam itu mudah tapi bukan dimudah-mudahkan. Alangkah baiknya bila seorang da'i bisa menjelaskan ajaran Islam dengan penjabaran yang mudah sehingga sang mad'u tidak perlu mengerutkan dahinya untuk memahami sesuatu.
Oleh karena itu dalam banyak hal nampak sekali bagaimana Rasulullah memberikan pemahaman yang mudah, misalnya ketika ditanya oleh sahabat tentang seberapa panas api neraka itu, beliau menjawab: "apimu yang ada di dunia ini bila dikumpulkan menjadi satu, maka itu baru satu bagian dari tujuh puluh bagian". Ketika ada sahabat yang mau ikut berperang tapi ia punya orang tua yang harus dirawatnya, maka beliau menyatakan:"berjihadlah engkau di rumahmu", maksudnya adalah merawat ibumu".
6. Mendahulukan Yang Pokok Sebelum Yang Cabang.
Dalam Islam terdapat persoalan yang ushul (pokok) seperti aqidah, karena itu dakwah harus terlebih dahulu menjelaskan dan menanamkan masalah aqidah, baru kemudian hukum-hukum yang pokok seperti kewajiban shalat yang lima waktu dan seterusnya. Adapun perkara-perkara fiqih yang hukumnya sunat dan seringkali menjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam merupakan persoalan cabang bahkan ranting yang bila masalah pokok sudah tertanam dengan baik, persoalan cabang dan ranting itu tidak akan merusak hubungan diantara sesama muslim.
Oleh karena itu, para da'i jangan terjebak pada masalah cabang dan ranting hingga merusak perkara yang pokok dalam Islam. Dalam menjelaskan Islam, para da'i seharusnya berangkat dari perkara global sesudah itu baru rincian-rincian ajaran Islam hingga yang sekecil-kecilnya. Kerangka umum yang menjadi pijakan kaum muslimin adalah memelihara aqidah, melaksanakan kewajiban dan menjauhi kemunkaran.
7. Membesarkan Hati Sebelum Memberi Ancaman.
Para mad'u harus dibesarkan hatinya dengan kabar gembira dan sejumlah keutamaan atas amal yang dilakukannya, inilah yang disebut dengan targhib, baru sesudah itu mengemukakan tarhib (ancaman). Ini berarti dalam menjelaskan sesuatu haruslahn didahului keutamaan dan kabar gembira dibanding ancaman, misalnya keutamaan ikhlas baru kemudian bahaya riya. Ini merupakajn upaya menumbuhkan motivasi yang positif ke dalam jiwa manusia untuk mengamalkan nilai-nilai kebenaran dan menjauhi segala yang bathil.
Oleh karena itu, Allah Swt di dalam Al-Qur'an mengemukakan imbalan untuk yang beriman dan beramal shaleh dengan kehidupan di dunia yang baik dan surga dalam kehidupan di akhirat kelak. Sedangkan bagi yang tidak demikian akan memperoleh murka Allah Swt di dunia maupun di akhirat.
8. Memahamkan Bukan Mendikte.
Islam merupakan agama yang harus diamalkan oleh penganutnya, baik dalam keadaan bersama orang lain maupun dalam kesendirian, ini berarti setiap muslim harus mendapatkan pemahaman dengan argumentasi yang kuat, bukan sekedar dogma, karena memang tidak semua ajaran Islam demikian. Manakala seorang muslim berislam dengan kesadaran penuh, maka ia bukan hanya akan selalu menunjukkan ketaqwaan kepada Allah Swt, tapi juga akan berusaha mengajak orang lain untuk juga demikian.
9. Mendidik Bukan Menelanjangi.
Dalam dakwahnya, Rasulullah Saw berusaha untuk terus mentarbiyah (mendidik) mad'unya agar tunduk Kepada nilai-nilai Islam. Karenanya ketika menghadapi sikap dan prilaku mad'u yang kurang menyenangkan, maka beliau mendekatinya dengan baik. Ketika seorang pemuda minta izin berzina, beliau malah menyentuh perasaan pemuda itu bagaimana perasaannya seandainya hal itu terjadi pada ibu atau saudaranya yang perempuan. Maka pemuda itupun bukan hanya tidak jadi berzina, tapi malah membencinya.
Disamping itu, ketika ada orang badui kencing di dalam masjid, meskipun ada sahabat yang marah beliau tidak, malah beliau mendekatinya dan menjelaskan bahwa masjid adalah tempat yang harus dijaga kesuciannya dan beliau menjelaskan dimana tempat buang hajat, begitulah seterusnya.
10. Muridnya Guru, Bukan Muridnya Buku.
Buku dan dalil-dalil Al-Qur'an serta hadits merupakan referensi utama, namun tidak selalu kita bisa mengambil pelajaran secara langsung, karena itu diperlukan guru yang ahli yang bisa memberikan penjelasan secara langsung sehingga kita tidak mengambil atau memahaminya secara harfiyah. Ketika ayat menyatakan tentang puasa: "Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam", maka seorang sahabat betul-betul mengambil benang putih dan hitam, karenanya sebagai guru Rasul menjelaskan bahwa maksudnya adalah putihnya siang dan hitamnya malam.
Dengan memahami bagaimana seharusnya kita berdakwah, maka mudah-mudahan kita biasa melaksanakan tugas yang mulia ini dengan sebaik-baiknya sehingga menghasilkan kaum muslimin yang berkualitas.
KOMUNIKASI DAKWAH
Bagi manusia, komunikasi merupakan sesuatu yang biasa dilakukan, bahkan bisa jadi sebagian besar waktu yang 24 jam setiap harinya kita gunakan untuk berkomunikasi, mulai dari bangun tidur di pagi hari sampai kita tidur lagi di malam hari. Meskipun demikian, komunikasi ternyata susah-susah gampang. Disebut gampang karena ia merupakan persoalan keseharian, namun ia juga disebut susah karena berkomunikasi itu bila kita lakukan kepada semakin banyak orang kita rasaskan menjadi sulit. Sebagai contoh, seorang ibu punya anak bayi, saat anaknya menangis, maka sang ibu memberikan air susu ibu (ASI) dan anak itupun diam, bahkan tidur. Komunikasi selesai dengan mudah. Tapi ketika anak itu sudah berusia satu atau dua tahun, banyak hal yang sudah mulai dilihat, didengar dan diketahui sang anak, ia sendiri sudah mulai bisa bicara, namun tidak selalu ia bisa mengemukakan keinginannya. Ketika anak itu menangis ibunya bertanya tentang apa yang diinginkan sang anak, tapi anaknya tidak bisa mengemukakan apa yang diinginkannya itu, sang ibu menduga-duga apa yang ia inginkan tapi tetap saja tidak berhasil, akibatnya emosi terjadi pada sang ibu dan sang anak, ibunya marah dan anaknya menangis. Begitulah sulitnya berkomunikasi, padahal ibu dengan anaknya memiliki hubungan yang sangat dekat, bahkan sang ibu mengetahui persis perkembangan anaknya itu. Kalau ibu dengan anak saja sudah sulit berkomunikasi, apalagi antara seorang ustadz dengan jamaah se masjid yang sangat beragam latar belakangnya, baik dari sisi usia, pekerjaan, pendidikan, suku, tingkat kecerdasan, ekonomi, dan sebagainya.
Disilah letak pentingnya mempelajari ilmu komunikasi sehingga dengabn memahami ilmu komunikasi seseorang bisa mengatasi kendala dalam berkomunikasi hingga akhirnya ia menjadi trampil dalam berkomunikasi.
PENGERTIAN KOMUNIKASI DAKWAH.
Komunikasi berasal dari bahasa latin, comunicatio (communis) yang berarti sama. Ini berarti bila seseorang berkomunikasi dengan orang lain, maka tujuannya adalah agar orang tersebut (komunikan) bersikap dan bertindak sama dengan keinginan komunikator. Dengan demikian, komunikasi bukan sekedar informatif (agar orang lain mengerti dan tahu tentang suatu maksud) tapi juga persuasif (agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan lalu melakukan perbuatan yang sesuai dengan paham tersebut).
Adapun dakwah adalah menyeru orang lain agar beriman dan tunduk kepada Allah dalam kehidupan baik menyangkut hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Dengan demikian, komunikasi da’wah adalah menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain agar ia memahami ajaran Islam dengan baik dan bersikap serta berperilaku islami.
Dalam komunikasi, unsur-unsur yang tak bisa dipisahkan terdiri dari lima hal, yaitu, Pertama, komunikator (orang yang berkomunikasi, dalam dakwah disebut dengan da’i, muballigh atau khatib). Komunikator merupakan penentu dalam keberhasilan berkomunikasi, karena itu komunikator harus trampil, kaya dengan ide-ide dan memiliki daya kreativitas yang tinggi, Untuk mencapai keberhasilan, komunikator harus memiliki tiga hal penting, yakni
(1) kredibilitas atau kepercayaan diri yang tinggi, baik dari sisi karakter, emosi yang terkendali maupun kemampuan berargumentasi. Ini merupakan hal yang paling penting bagi seorang komunikator.
(2) Daya tarik seperti dalam kesamaan bahasa atau daerah, disukai, populer, kemampuan mengolah atau mengemas materi pembahasan, dll.
(3) Kekuatan, yakni memiliki pengaruhnyang besar dan luas.
Kedua, komunikan (orang yang diajak berkomunikasi, dalam dakwah disebut dengan mad’u atau jamaah dakwah), Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam berkomunikasi, seorang komunikator harus mengenal terlebih dahulu siapa komunikan yang akan dihadapinya. Pengenalan terhadap komunikan menjadi amat penting dalam upaya menentukan kemasan penyampaian pesan dakwah, waktu yang digunakan, gaya yang dilakukan, istilah yang dipakai hingga pakaian yang akan dikenakan.
Ketiga, massage (pesan yang dikomunikasikan, dalam dakwah adalah ajaran Islam yang harus dikuasi dan dikemas dengan baik). Komunikasi tidak akan terjadi bila tidak ada pesan yang hendak disampaikan, karena itu bagaimana mungkin seseorang akan berdakwah bila tidak ada materi dakwah yang akan disampaikannya. Karenanya pesan dakwah harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Keempat, media (alat komunikasi, Nabi Muhammad pernah berdakwah dengan menggunakan surat yang dikirim kepada para raja), Dakwah bisa menggunakan banyak alat, radio, televisi, telpon, handphone internet, email, kotan, majalah, buku, kaset, CD, dll merupakan alat-alat yang bisa digunakan untuk penyampaian pesan-pesan dakwah.
Kelima, efek (sasaran yang ingin dicapai lewat komunikasi yang dalam dakwah adalah perubahan agar kehidupan seseorang menjadi islami dan lebih islami lagi).
PEMBAGIAN KOMUNIKASI
Seperti juga komunikasi pada umumnya, komunikasi dakwah bisa dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, Komunikasi lisan, yaitu komunikasi dengan menggunakan lisan seperti ceramah, pidato, khutbah, diskusi, ngobrol dll, Diantara kelebihan komunikasi lisan adalah lebih akrab, lebih pribadi, lebih manusiawi dan dapat menunjukkan emosi pembicara. Sedangkan kelemahannya adalah bila sudah berlalu ia sulit diulang kembali dan sulit terdokumentasi atau tidak banyak orang yang mendokumentasikan pembicaraan.
Kedua, komunikasi melalui tulisan seperti tulisan di koran, majalah, brosur, buletin, surat, buku, email, situs internet, stiker, spanduk, dll . Kelebihan komunikasi tulisan adalah dapat dengan mudah terdokumentasi bahkan dengan biaya yang murah, membaca bisa diulang dengan mudah, namun tidak bisa mencapai kelebihan pada komunikasi lisan.
Ketiga, komunikasi melalui isyarat seperti karikatur, gambar, simbol-simbol dll. Kelebihannya lebih praktis dalam menyampaikan pesan, bahkan dalam menyampaikan pesan-pesan tertentu komunikasi isyarat menjadi jauh lebih mudah atau lebih efektif dibanding komunikasi lisan atau tulisan, namun tidak semua pesan bisa disampaikan dengan bahasa isyarat.
KOMUNIKASI YANG BAIK
Dalam berkomunikasi, seorang da’i tentu saja ingin berhasil. Dalam rangka itu seorang da’i dituntut mampu berkomunikasi dengan baik. Nabi Saw adalah seorang komunikator ulung yang berhasil dengan sangat baik dalam dakwahnya. Oleh karena itu agar da’i memiliki tehnik komunikasi yang baik hendaknya ia mencermati hal-hal berikut ini:
(1) Berbicaralah secara singkat tapi padat.
(2) Berbicaralah secara sistematis, tidak berbelit-belit.
(3) Berbicaralah dengan bahasa yang fasih, jelas dan terang dalam berargumentasi.
(4) Gunakan bahasa atau istilah yang mudah dicerna oleh lawan bicara (komunikan), bila menggunakan istilah-istilah yang masih asing bagi jamaah, hendaknya diterjemahkan ke dalam istilah yang mereka pahami, baik bahasa asing itu berupa bahasa dari negara lain misalnya bahasa Arab atau Inggris, atau bisa juga bahasa asing itu berupa bahasa suatu daerah yang belum tentu dipahami oleh daerah yang lain.
(5) Sesuaikan intonasi pembicaraan dengan pesan dakwah, pesan yang menyemangati, pesan sedih dan sebagainya.
(6) Gunakan komunikasi dua arah agar lebih mudah dipahami dan seandainya memang komunikasi satu arah, tanamkan perasaan seolah-olah ini komunikasi dua arah.
(7) Perhatikan situasi dan kondisi, mungkin sudah terlalu malam yang berarti tidak mungkin berkomunikasi dengan waktu yang lebih panjang, mungkin tempat acara yang sempit sedang jamaahnya banyak dan momentumnya juga harus diperhatikan, ceramah pada acara pernikahan tentu berbeda dengan saat acara orang yang mau menunaikan ibadah haji, ceramah kematian tentu berbeda dengan ceramah khitanan, begitulah seterusnya.
Apa yang diungkap diatas hanyalah sebagian dari sekian banyak kiat yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan baik. Selain itu ada tiga hal penting yang harus diperhatikan oleh komunikator agar da’wahnya berhasil yaitu; attension (perhatian komunikan terhadap pesan da’wah), comprehention (pemahaman terhadap pesan-pesan da’wah) dan acceptence (penerimaan pesan-pesan da’wah)
HAMBATAN DALAM KOMUNIKASI
Ada banyak hal yang dapat menghambat proses komunikasi antara lain:
1. Alat pendengaran atau penglihatan komunikan kurang baik
2. Alat komunikasi yang kurang memadai seperti gangguan pengeras suara, kerusakan pada stasiun televisi, gangguan saluran telpon, dll.
3. Perbedaan persepsi tentang pesan yang disampaikan, baik yang terkait dengan istilah maupun budaya.
4. Penggunaan bahasa/istilah yang tidak dapat dipahami komunikan
5. Situasi dan kondisi yang kurang mendukung seperti udara yang terlalu panas, cuaca yang mendung, suasana berkabung, dll
6. Konsentrasi komunikator/komunikan yang kurang
Demikianlah hal-hal pokok dalam berkomunikasi semoga kita dapat berhasil dalam berkomunikasi sekaligus menghilangkan faktor-faktor yang menghalangi keberhasilannya.
POLA PERUMUSAN MATERI DAKWAH
Dakwah merupakan tugas yang sangat mulia, karena tugas ini diemban oleh para nabi dan Rasul (lihat QS 5:67. 7:62. 5:92. 16:35. 24:54. 29:18). Karena itu kemuliaan tugas dakwah ini harus ditopang oleh kepribadian yang mulia dari para da’i, daya tarik menyampaikan dakwah dan kemasan materi dakwah yang baik. Dengan demikian, perumusan atau kemasan materi dakwah yang baik merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam dakwah itu sendiri, apalagi dakwah menghendaki terjadinya perubahan sikap dan prilaku, dari yang tidak Islami kepada yang Islami, sedangkan perubahan itu dimulai dari pemahaman yang baik tentang Islam.
POLA MATERI DAKWAH
Ada beberapa pola penting dalam menguraikan materi dakwah yang antara pola satu dengan yang lainnya memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri. Tentu saja yang sesuai dengan persoalan yang dibahasnya. Beberapa pola perlu sama-sama kita pahami dengan sebaik-baiknya sehingga pembahasan-pembahasan penting dalam materi dakwah dapat dikemas dengan sistimatika yang baik.
1. PROBLEM SOLVING (PEMECAHAN MASALAH)
Pola ini merupakan pola yang baik, ibarat penyakit, pola ini berusaha mengobati penyakit dalam suatu masyarakat. Sekurang-kurangnya ada tiga muatan dalam pola ini. Pertama, mengungkapkan fakta dan data tentang “penyakit masyarakat” dan akibat negatif yang ditimbulkannya, ini bisa diungkap dari analisa yang diperkuat dengan data dari berbagai sumber seperti koran, majalah dan hasil-hasil penelitian. Fakta adalah kejadian-kejadian yang berlangsung di masyarakat, kejadian yang baik maupun yang buruk, sedangkan data adalah angka-angka yang tercatat secara keseluruhan dari kejadian-kejadian tersebut, misalnya ketika kita mengemukakan bahwa akhlak masyarakat kita semakin jelek, maka kita perlu mengemukakan sisi-sisi dari jeleknya akhlak itu, misalnya banyaknya kasus pembunuhan, perampokan dan sebagainya. Namun fakta saja tidak cukup, kita perlu mengemukakan lagi data tentang kasus-kasus tersebut, misalnya selama tahun 2001, kasus pembunuhan terjadi sebanyak 150 kasus di Jakarta, angka ini meningkat menjadi 175 kasus pada tahun 2002, ini berarti tingkat kerusakan akhlak masyarakat semakin memprihatinkan.
Kedua, mengungkapkan penyebab-penyebab dari “penyakit masyarakat”, baik yang dianalisis dari fakta dan data maupun dari dalil Al-Qur’an dan Hadits serta pendapat para pakar, misalnya Rasulullah Saw bersabda: “Mu’min yang sempurna imannya, niscaya bagus akhlaknya”. Ini berarti sebab dari rusaknya akhlak masyarakat adalah iman yang lemah.
Ketiga, mencarikan obat atau jalan keluar dari “penyakit masyarakat”, kita bisa merumuskannya dari ayat, hadits, pendapat para ulama dan pendapat kita sendiri. Misalnya saja kalau sebabnya adalah lemahnya iman, maka upaya yang harus kita lakukan untuk memperbaiki akhlak adalah memperkokoh iman kepada Allah Swt.
2. PERTANYAAN DAN JAWABAN.
Pola ini dimaksudkan untuk menjawab persoalan-persoalan penting yang perlu diketahui oleh umat dalam upaya membentuk pemahaman yang utuh tentang suatu masalah. Dari sini diharapkan terbentuk sikap dan prilaku yang Islami. Setidak-tidaknya, ada tiga muatan yang terkandung dalam pola ini. Pertama, mengungkap pentingnya masalah yang akan dibahas. Misalnya tentang pentingnya istiqomah dalam kehidupan seorang muslim sehingga para sahabat berusaha istiqomah dalam kehidupan mereka, ini diterangkan juga dengan kisah-kisah keistiqomahan mereka .
Kedua, mengungkap apa permasalahan yang dihadapi sebagai kendala dalam memiliki sikap positif dari masalah yang dibahas. Misalnya dengan memunculkan pertanyaan: mengapa para sahabat bisa istiqomah, apa rahasianya?.
Ketiga, memberikan jawaban dari permasalahan yang dihadapi dalam pembahasannya. Ini merupakan sesuatu yang terpenting dalam bahasan materi, misalnya dengan menguraikan bahwa agar bisa istiqomah ada enam resep yang harus dilaksanakan. (1) Memiliki kemauan yang kuat. (2) Memahami ajaran Islam dengan baik. (3) Mengikuti pembinaan yang intensif. (4) Bergaul dengan orang yang lebih baik. (5) Meneladani orang-orang yang istiqomah. (6) Berusaha mendekatkan diri kepada Allah.
3. PENDEKATAN TEMATIK DARI AYAT DAN HADITS.
Ini merupakan pola yang membahas suatu masalah yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadits. Suatu pendekatan yang menarik dalam upaya memahami kandungan Al-Qur’an dan Hadits. Ada banyak ayat dan hadits yang menyoroti suatu persoalan yang sama. Kitab hadits Riyadush Shalihin merupakan contoh kitab yang mengumpulkan hadits dengan tema-tema tertentu lalu dikaitkan dengan ayat Al-Qur’an. Ada tiga langkah yang perlu ditempuh dalam perumusan pola materi seperti ini. Pertama, tentukan terlebih dahulu masalah yang hendak dibahas, misalnya tentang taqwa, mahabbah kepada Allah, tawakkal dan sebagainya, tentu saja sambil menjelaskan urgensinya bagi seorang muslim dari masalah yang hendak dibahas.
Kedua, batasi masalahnya agar tidak terlalu luas mengingat waktu yang tersedia untuk menguraikan tidak banyak, misalnya dengan membahas urgensi taqwa, ciri-ciri orang bertaqwa, keuntungan orang yang bertaqwa, dll.
Ketiga, gunakan dalil-dalil yang terkait dengan pokok-pokok bahasannya, baik dari Al-Qur’an maupun hadits untuk selanjutnya diuraikan secara baik dan diperkuat uraiannya itu dengan tafsir dari para ulama tafsir.
4. MENSISTIMATISASIKAN AYAT DAN HADITS.
Ayat dan hadits, tentu saja mengandung banyak masalah yang perlu dikaji oleh umat Islam agar bisa diambil pelajaran dan petunjuk yang sebanyak-banyaknya. Untuk memudahkan pemahaman, perlu dibahas dengan pendekatan yang sistimatis. Ada tiga langkah yang perlu ditempuh dalam kaitan ini. Pertama, bacakan ayat atau hadits yang dimaksud berikut terjemahannya, tentu saja dengan mengantarkan terlebih dahulu kepada masalah yang terkandung dalam ayat atau hadits yang dimaksud dan pentingnya masalah tersebut, misalnya dengan mengulas firman Allah pada QS 2:208.
Kedua, susun kandungan ayat tersebut menjadi poin-poin bahasan yang harus dijelaskan, misalnya dengan mengemukakan: ada tiga seruan Allah kepada orang yang beriman yang terdapat pada ayat di atas. Pertama, masuk ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh) selanjutnya secara rinci poin ini. Kedua, untuk bisa masuk ke dalam Islam secara menyeluruh itu, janganlah mengikuti langkah-langkah atau keinginan-keinginan syaitan untuk selanjutnya diuraian secara rinci. Dan Ketiga, waspada terhadap godaan-godaan syaitan karena ia merupakan musuh yang nyata bagi setiap muslim, begitu seterusnya diuraikan dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, kaitkan bahasan masing-masing poin dengan ayat-ayat yang senada dan jadikan masalah-masalah aktual sebagai contoh kasusnya.
5. MEMILIH URAIAN HADITS BERNOMOR.
Banyak hadits-hadits dengan ungkapan yang sistimatis melalui penyebutan angka yang terkandung di dalamnya sehingga kita dapat membahasnya secara mudah. Banyak hal menarik dalam hadits-hadits seperti ini, disamping sudah sistimatis, pesan yang dikandungnya juga banyak menyentuh persoalan keseharian. Ada dua Langkah yang harus ditempuh: Pertama, uraikan pentingnya masalah yang terkandung dalam hadits tersebut. Misalnya; setiap orang tentu ingin mencapai keselamatan dalam hidupnya di dunia dan akhirat. Ada faktor-faktor yang disebutkan Rasulullah Saw untuk kita laksanakan agar kita bisa meraihnya.
Kedua, bahas poin-poin hadits satu persatu, jelaskan dengan ayat dan hadits-hadits terkait serta berilah ilustrasi yang menarik dan aktual.
6. MENANGGAPI MASALAH AKTUAL DARI SUDUT ISLAM.
Ada banyak masalah dan kejadian-kejadian aktual yang perlu ditanggapi dari sudut pandang ajaran Islam, ini bisa menjadi materi tersendiri dalam tabligh. Materi semacam ini merupakan salah satu pola yang dinanti oleh jamaah. Misalnya ada kasus kekurangan pangan, pengguguran kandungan, reformasi dan sebagainya. Ada tiga langkah yang harus ditempuh dalam membahas pola ini. Pertama, ungkap masalah yang dimaksud dan pentingnya bagi kaum muslimin menyikapi masalah ini.
Kedua, kaitkan masalah tersebut dengan sudut pandang ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan hukum maupun petunjuk-petunjuk teknis dalam Al-Qur’an dan hadits.
Ketiga, ilustrasikan masalah tersebut dengan sikap generasi terdahulu, pada masa Rasul maupun sahabat dan ulama-ulama kemudian.
Demikian secara umum pola-pola penyiapan dan penulisan materi dakwah yang bisa bisa kita lakukan, ini merupakan pengalaman penulis dalam mempersiapkan materi dakwah dan tidak tertutup kemungkinan ada pola-pola lain yang baik, menarik, sistimatis dan sederhana. Dengan tersusunnya materi dakwah yang baik, tidak hanya membuat daya tarik tersendiri dalam uraian kita, tapi juga dapat memberi pesan-pesan dakwah yang padat dan sistimatis dalam upaya menumbuhkan pemahaman yang benar tentang Islam dan dapat mensikapi serta mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Dalam kaitan khutbah Jum’at, pola penyusunan materi yang padat dan sistimatis dalam menguraikannya sangat diperlukan, apalagi khutbah hanya berlangsung sekitar 20-25 menit.
Manakala pola seperti yang kita uraikan dalam tulisan ini bisa kita kuasai, insya Allah tidak akan membuat kita sebagai muballigh kehabisan materi dakwah, karena sangat banyak ayat dan hadits yang bisa kita uraikan, belum lagi dengan begitu banyak persoalan sehari hari di negeri kita yang perlu kita sikapi sebagaimana yang digariskan di dalam ajaran Islam itu sendiri. Ketidakmampuan seorang khatib dan muballigh dalam menyusun atau mengemas materi dakwah akan membuat ia merasa kehabisan materi dakwah meskipun sebenarnya ia memiliki ilmu yang banyak.
PSIKOLOGI DAKWAH
Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim. Sebagai da’i tentu saja kita ingin mencapai kesuksesan dalam melaksanakan tugas dakwah. Salah satu bentuk keberhasilan dalam dakwah adalah berubahnya sikap kejiwaan seseorang, dari tidak cinta Islam menjadi cinta, dari tidak mau beramal shaleh menjadi giat melalukannya, dari cinta kemaksiatan menjadi benci dan tertanam dalam jiwanya rasa senang terhadap kebenaran ajaran Islam, begitulah seterusnya.
Karena dakwah bermaksud merubah sikap kejiwaan seorang mad’u (objek dakwah), maka pengetahuan tentang psikologi dakwah menjadi sesuatu yang sangat penting. Dengan pengetahuan tentang psikologi dakwah ini, diharapkan kita dapat melaksanakan tugas dakwah dengan pendekatan kejiwaan, Rasul Saw dalam dawahnya memang sangat memperhatikan tingkat kesiapan jiwa orang yang didakwahinya dalam menerima pesan-pesan dakwah.
PENGERTIAN
Secara harfiah, psikologi artinya ilmu jiwa, berasal dari kata Yunani psyche (jiwa) dan logos (ilmu). Tapi yang dimaksud bukanlah ilmu tentang jiwa. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai gambaran dari keadaan jiwanya. Adapun da’wah merupakan usaha mengajak manusia agar beriman kepada Allah Swt dan tunduk kepada-Nya dalam kehidupan di dunia ini, dimanapun dia berada dan bagaimanapun situasi serta kondisinya.
Dengan demikian, psikologi dakwah adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang merupakan gambaran dari kejiwaannya guna diarahkan kepada iman dan taqwa kepada Allah Swt. Bila disederhanakan bisa juga dengan pengertian, dakwah dengan menggunakan pendekatan kejiwaan.
SIKAP MENTAL DA’I
Di atas sudah disebutkan bahwa dakwah merupakan usaha merubah sikap kejiwaan seseorang dari tidak Islami kepada sikap yang Islami. Untuk itu orang yang berdakwah harus memiliki sikap mental yang baik dan ini harus betul-betul terealisir dalam kehidupannya sehari-hari. Sikap mental ini antara lain; Pertama, memiliki kecintaan kepada ajaran Islam sehingga dalam kapasitasnya sebagai da’i, seseorang telah merealisir pesan-pesan dakwahnya dalam kehidupan nyata. Bila tidak, terdapat “hambatan psikologis” untuk diterimanya pesan-pesan dakwah oleh sang mad’u (penerima dakwah), bahkan bisa mengakibatkan hilangnya kewibawaan sebagai seorang da’i dan dihadapan Allah Swt ia mendapatkan kemurkaan-Nya. Allah Swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. 62:2-3).
Kedua, lemah lembut kepada mad’unya agar mereka senang dan mau menerima pesan-pesan dakwah serta mengikuti jalannya. Bila bersikap sebaliknya, yakni bengis dan kasar, kemungkinan besar yang terjadi adalah sang da’i, dijauhi mad’unya. Ini pulalah yang dicontohkan Rasul Saw dalam berbagai peristiwa, sehingga mereka yang semula memusuhi dakwah Rasul, berubah menjadi pendukung-pendukung dakwah yang setia, sedangkan yang telah menjadi pendukung dakwah semakin memperkokoh dukungannya meskipun mereka melakukan kekhilafan. Allah Swt berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.
Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhi diri dari sekililingmu. Karena ini maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (QS. 3:159).
Ketiga: bersikap sabar dan optimis dalam berdakwah. Sabar terhadap segala kesulitan dan kendala yang dihadapi di jalan dakwah dan harus tetap optimis meskipun banyak orang yang belum menerima jalan dakwah yang benar. Hal ini karena sesulit apapun keadaan yang dihadapi oleh oleh para pejuang di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan membiarkannya terus berlangsung sehingga suatu saat akan datang pertolongan Allah Swt, namun satu hal yang harus kita ingat bahwa sejarah pertolongan dari Allah Swt seringkali baru tiba saat para pejuang Islam itu sudah sampai pada puncak-puncak kesulitan. Sikap sabar dan optimis ini sangat ditekankan oleh Allah Swt kepada Rasul-Nya yang mengemban tugas dakwah sebagaimana dalam satu firman-Nya:
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ.
Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati tehadap (kekufuran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan (QS. 16:127).
Keempat,: menggunakan cara-cara yang baik dan benar dalam berdakwah sehingga secara psikologis dakwah akan mendapat simpati mereka yang semula tidak suka dan tidak ada alas an bagi mereka untuk menuduh para da’i dengan tuduhan-tuduhan yang tidak benar. Diantara caranya dikemukakan oleh Allah Swt dalam satu ayat:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ.
Serulah (manusia) pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. 16:125).
DAKWAH YANG PSIKOLOGIS
Dakwah yang psikologis atau dakwah yang dilakukan dengan pendekatan kejiwaan memang sangat penting untuk dilaksanakan. Turunnya ayat-ayat suci Al-Qur’an secara bertahap merupakan suatu bukti bahwa pendekatan kejiwaan merupakan sesuatu yang tidak boleh diabaikan, begitu pula dengan berbagai peristiwa dakwah yang dialami oleh Rasul Saw. Diantara contoh yang bisa kita ungkap adalah turunnya ayat-ayat tentang pengharaman minuman keras secqara bertahap, karena meminum-minuman keras merupakan tradisi yang secara psikologis sangat sulit untuk ditinggalkan. Ayat-ayat itu adalah:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ.
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya (QS. 2: 219).
Ayat di atas secara psikologis tidak menyinggung perasaan peminum-minuman keras atau orang yang mencari nafkah darinya, karena di dalam ayat itu Allah Swt mengakui ada beberapa manfaat bagi manusia dari minuman keras itu, namun dosa dan mudharatnya jauh lebih besar ketimbang manfaatnya. Ini berarti manusia akan memahami persoalan dengan baik dengan akal maupun hatinya. Setelah itu diharapkan manusia punya keinginan yang kuat untuk meninggalkannya meskipun baru tahap mengurangi, maka turunlah sesudah itu ayat berikutnya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ..
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (QS. 4:43).
Dengan turunnya ayat di atas, maka secara bertahap manusia telah mengurangi frekuensi meminum-minuman keras, karena mereka harus melaksanakan shalat yang tidak boleh dilakukan bila dalam keadaan mabuk, sedangkan dari keadaan mabuk untuk bisa normal kembali diperlukan waktu yang cukup hingga beberapa jam. Hal ini menjadi mungkin bagi manusia untuk mendapat instruksi dari Allah Swt untuk betul-betul meninggalkan dan menjauhi minuman keras, maka turunlah yang berikut ini sehingga minuman keras akhirnya dibuang ke jalan-jalan hingga jalan-jalan di kota Madinah menjadi becek.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Hai Orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan syaitan. Maka jauihlah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan (QS. 5:90).
CONTOH DALAM DAKWAH NABI
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dakwah, ada beberapa contoh dari Rasul Saw yang menggunakan pendekatan kejiwaan, antara lain: Pertama, meyampaikan ajaran Islam dengan cara yang mudah dipahami dan dihayati di dalam jiwa, misalnya ketika seseorang yang senang berzina, sementara dia mempunyai isteri dan ingin menyatakan masuk Islam, tapi tetap menginginkan zina, maka Nabi menyatakan yang penting jadilah engkau seorang muslim yang jujur. Orang itupun masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Ketika ia mau berzina lagi, tiba-tia dia ingat akan isterinya, bagaimana nanti kalau ia ditanya oleh sang isteri, begitu pikirnya, kalau dijawab jujur, isteri akan marah, kalau berbohong tak dibenarkan dalam Islam, maka diapun akhirnya tidak jadi berzina.
Kedua, bersikap lentur selama tidak menurunkan martabat kebenaran, ini pula yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun dalam dakwahnya kepada Fir’aun, karena walau bagaimanapun Fir’aun adalah seorang raja yang sangat disegani oleh rakyatnya, bahkan bapak angkat dari Musa as yang berarti Musa as harus bisa menunjukkan rasa teri kasihnya, Hal ini juga karena target dakwah bukan untuk menjatuhkan seorang raja dari kursi kekuasaannya, tapi agar ia menjadi ingat kepada Allah Swt sebagai Tuhan yang benar dan ia menjadi takut kepada-Nya, Allah Swt berfirman:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى.
Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, maka mudah-mudahan ia ingat atau takut (QS. 20:44).
Ketiga, tidak menghina sesembahan selain Allah yang dilakukan oleh orang yang didakwahi, hal ini hanya akan menyebabkan orang menjadi tersinggung perasaannya, meskipun ia tahu bahwa apa yang disembahnya merupakan sesuatu yang salah, Allah Swt berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (QS. 6:108).
Keempat, mempertimbangkan kapasitas penerima dakwah, sesuai dengan diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap. Penyampaian pesan dakwah yang banyak hanya akan membuat orang merasa memperoleh beban baru yang sangat banyak dan berat, Allah Swt berfirman:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا.
Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkan-nya bagian demi bagian (QS.17:106).
Kelima, menggunakan bahasa kaum yang didakwahi sehingga pesan-pesan dakwah lebih mudah diterima dan cepat diterima, Allah Swt berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ.
Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka (QS. 14:4).
Keenam, berbicara sesuai dengan tingkat berpikir orang yang didakwahi, berbicara kepada anak-anak tentu beda contoh-contoh kasusnya dengan berbicara kepada orang dewasa, begitu juga dengan berbicara kepada.anak remaja beda penjelasannya bila dibandingkan bicara kepada anak kecil.
Ketujuh, berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang padat makna, sebab pembicaraan yang bertele-tele tidak hanya menjenuhkan pemikiran, tapi juga membuat orang tidak simpati dan menimbulkan kelelahan jiwa. Karena itu bila kita perhatikan sabda Nabi dalam hadits-hadits, akan kita dapati ungkapan-ungkapan Rasulullah saw yang singkat tapi padat, misalnya sabda beliau: Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah berkata yang baik atau diam”.
Kedelapan, guna menyentuh hati dan perasaan orang yang didakwahi dalam pesan-pesan dakwahnya, Rasul Saw menyampaikan pesan dakwah dengan penuh emosi dan menunjukkan semangat yang tinggi sesuai dengan tema pembicaraannya sehingga digambarkan dalam khutbahnya mata Rasul sampai merah guna menunjukkan semangatnya, tapi hal bukan berarti memaksakan keyakinan.
Kesembilan, menyampaikan pesan dengan menyentuh langsung perasaan orang yang didakwahi, misalnya ketika ada seorang pemuda dating untuk meminta izin guna melakukan perzinahan, maka sahabat yang mendengarnya menjadi marah, tapi Rasulullah Saw mencegah agar jangan sampai para sahabat menunjukkan kemarahannya dengan tindakan yang bersifat fisik, maka dengan santai beliau bertanya: “Kamu punya ibu atau saudara perempuan?”. Pemuda itu menjawab: “Ya”. Selanjutnya Rasul balik bertanya: “Bagaimana perasaanmu seandainya ibumu atau saudara perempuanmu dizinahi orang?”. Dengan ekspresi serius bahkan marah, pemuda itu menjawab: “Tentu saya tidak suka”. Maka Rasulullah menyatakan: “Kalau begitu demikian pula dengan saudara laki-laki atau bapak dari wanita yang akan engkau zinahi”. Maka pemuda itupun menyadari kesalahannya sehingga ia tidak mau berzina.
Dengan demikian, untuk suksesnya pelaksanaan tugas dakwah diperlukan perangkat pengetahuan yang menunjang. Itu pula sebabnya, sebagai seorang da’i, wawasan kita tentang dakwah tentu saja harus ditingkatkan.
RETORIKA DAKWAH
Berdakwah dengan lisan, terutama melalui ceramah, pidato atau khutbah merupakan salah satu bentuk dakwah yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri, karena di dalam Islam terdapat kewajiban melaksanakan shalat Jum’at yang harus didahului dengan dua khutbah. Agar ceramah atau khutbah berlangsung dengan baik, memikat dan menyentuh hati jamaah, pemahaman terhadap retorika menjadi sesuatu yang amat penting.
Retorika merupakan bagian dari ilmu komunikasi. Sebagaimana kita ketahui, komunikasi adalah mengajak orang untuk berpartisipasi atau merubah sikap agar bertindak yang sama dengan maksud komunikator (orang yang berkomunikasi). Dalam dakwah, komunikator yang dimaksud adalah muballigh atau da’i. Dengan demikian disamping penguasaan konsepsi Islam dan pengamalannya (materi dakwah), keberhasilan dakwah juga sangat ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi antara sang da’i, muballigh atau khatib dengan mad’unya yakni jamaah yang menjadi objek dakwah.
PENGERTIAN
Retorika berasal dari bahasa Inggris rethoric yang artinya ilmu bicara. Dalam perkembangannya retorika disebut dengan seni berbicara dihadapan umum atau ucapan untuk menciptakan kesan yang diinginkan. Adapun dakwah berasal dari bahasa Arab yang artinya mengajak atau menyeru. Banyak sekali pengertian dakwah yang dikemukakan oleh para ahli dakwah, tapi pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah merubah situasi dan kondisi yang apa adanya kepada situasi dan kondisi yang seharusnya seperti yang dikehendaki Allah dan RasulNya. Dengan demikian yang diinginkan dari dakwah adalah terjadinya perubahan kearah kehidupan yang lebih islami.
Dari pengertian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa retorika dakwah adalah kepandaian menyampaikan ajaran Islam secara lisan guna terwujudnya situasi dan kondisi yang islami. Hal ini memang perlu, mengingat retorika secara umum bisa saja digunakan untuk berbagai kepentingan, termasuk kepentingan yang tidak benar.
RETORIKA DALAM PRAKTEK
Penyampaian ajaran Islam secara lisan umumnya dilakukan dengan ceramah, pidato atau khutbah, meskipun ada juga dalam bentuk dialog. Ceramah dan khutbah sebenarnya sama saja, tapi pada masyarakat kita sedikit dibedakan. Ceramah kesannya lebih bebas, seperti pengajian umum, peringatan hari-hari besar Islam, kuliah subuh, ceramah tarawih dll. Sedangkan khutbah terasa lebih khusus dan ritual sifatnya, seperti khutbah Jum’at, khutbah Idul Ffitri, Idul Adha dan khutbah nikah
Untuk bisa berceramah dan berkhutbah dengan baik, ada tiga bagian yang hendak kita bahas
1. Persiapan
Apapun kegiatan yang hendak kita lakukan, persiapan merupakan sesuatu yang amat penting. Dalam berceramah dan berkhutbah, persiapan menjadi lebih penting lagi bagi pemula atau siapa saja yang belum berpengalaman. Karenanya, sulit untuk bisa berceramah dengan baik bila tidak dibekali dengan persiapan yang matang, bahkan bagi orang yang sudah berpengalaman sekalipun. Adapun langkah-langkah persiapan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Mentalitas Yang Memadai.
Persiapan mental dalam pidato, ceramah atau khutbah adalah dengan menumbuhkan ke dalam jiwa kita rasa percaya diri yang tinggi, hal-hal berikut harus diperhatikan: Pertama, apa yang hendak kita sampaikan merupakan pelaksanaan dari tanggung jawab yang mulia, yakni melanjutkan tugas para Nabi dalam berdakwah, penting dan memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena masyarakat membutuhkan bimbingan kehidupan yang baik yang didasari pada ajaran Islam. Kedua, yakin bahwa apa yang hendak kita sampaikan merupakan sesuatu yang benar. Ketiga, yakin bahwa kita adalah orang yang pantas untuk menyampaikan masalah yang benar itu, baik dari sisi kepribadian yang tidak kontradiktif dengan ajaran Islam yang benar maupun penguasaan materi. Keempat, menyadari bahwa kita sebenarnya memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan dakwah, yakinkan diri kita bisa melakukan hal ini. Kelima, tanamkan prinsip masa bodoh atau cuek dalam hal-hal yang tidak prinsip bila menghadapi keadaan yang tidak kita perkirakan sebelumnya, misalnya pakaian yang kita kenakan dianggap terlalu sederhana atau kurang memenuhi standar forum, usia kita dianggap terlalu muda dan sebagainya.
b. Memahami Latar Belakang Jamaah.
Memahami latar belakang jamaah memiliki arti yang sangat penting agar kita tahu gambaran keadaan jamaah. Dari sini kita bisa menentukan tema apa yang perlu dibahas dan persoalan apa yang perlu diangkat atau disinggung. Untuk mengetahui keadaan jamaah. kita bisa bertanya kepada pengurus atau panitia yang mengundang kita atau muballigh yang pernah berceramah di tempat tersebut.
c. Menentukan Masalah.
Ceramah yang baik adalah ceramah dengan permasalahan atau pembahasan yang jelas, sehingga ceramah itu sendiri tidak simpang siur, karena punya target pembahasan yang jelas. Kalau masalah yang hendak dibahas terlalu luas. penceramah bisa memberikan batasan permasalahan. Masalah atau tema yang hendak dibahas misalnya tentang cinta kepada Allah dan Rasulnya, kewajiban mendidik anak secara Islami dll.
d. Mengumpulkan Bahan.
Setelah tema ditentukan, langkah berikutnya adalah mengumpulkan bahan, agar pembahasan materi ceramah bisa disampaikan dengan wawasan yang luas dan ilustrasi yang tepat. Bahan-bahan bisa diperoleh dari Al Qur’an, hadits, buku-buku maupun rujukan lainnya, bahkan bila diperlukan bisa dari artikel di Koran atau majalah dan sumber-sumber lainnya.
e. Menyusun Sistimatika.
Bila tema sudah ditentukan, dan bahan-bahan dikumpulkan, maka untuk memudahkan pembahasan perlu disusun sistimatika uraian materi pembahasan dengan sub-sub bahasan berikut dalil-dalil dan data lainnya yang menguatkan argumentasi. Secara umum sistematikanya terdiri dari Pertama, pendahuluan, berisi kalimat-kalimat hamdalah hingga amma ba’du dan kalimat-kalimat inti yang menghantarkan kepada pembahasan, Kedua, pembahasan dengan sub-sub tema dan dalil-dalil dari ayat atau hadits yang harus ditulis atau dihafal dengan sebaik-baiknya. Ketiga, penutup yang berisi kesimpulan materi atau saran-saran untuk jamaah dan permohonan maaf bila terdapat hal-hal yang kurang berkenan. Kesemua ini harus dicatat dengan sebaik-baiknya, apalagi bagi para pemula yang harus mencatat secara lebih detail mulai dari kalimat-kalimat hamdalah hingga amma ba’du dan dalil-dalil dari ayat atau hadits, meskipun dalil itu sudah dihafal, karena bisa jadi pada saat akan mengemukakannya tiba-tiba lupa, bila ada catatan tentu bisa dihindari kemandekan pembicaraan.
f. Menjaga Dan Mempersiapkan Kondisi Fisik.
Di samping kesiapan akal dengan menguasai materi yang hendak dibahas, seorang penceramah juga harus menjaga dan mempersiapkan kondisi fisiknya agar tetap prima selama berlangsungnya ceramah. Demikian juga dengan penggunaan pakaian yang pantas untuk dikenakan agar menyenangkan mata orang yang memperhatikan sehingga menjadi enak dilihat.
g. Analisis Pendengar.
Ketika seorang muballigh tiba di tempat acara, saat itulah ia harus “membaca” jamaahnya, kadang-kadang keadaan jamaahnya cocok dengan apa yang diceritakan pengurus, atau malah sebaliknya. Di sinilah seorang penceramah harus mampu menganalisis jamaahnya meskipun hanya sekilas, dan jika sekiranya materi yang hendak disampaikan tidak cocok dengan keadaan jamaahnya, seorang muballigh harus segera mempersiapkan gaya berceramah bahkan mungkin harus merubah tema yang hendak dibahasnya. Karena itu, seorang muballigh harus menguasi banyak materi untuk ceramah. Disinilah letak pentingnya bagi penceramah memiliki buku catatan khusus untuk materi ceramah, kemana pergi ia selalu membawanya sehingga kapan saja diminta ia siap memberikan ceramah.
2. Pelaksanaan Pidato/Ceramah
Sesudah persiapan ceramah dilaksanakan dengan baik dan matang, maka berikutnya adalah bagaimana penampilan saat berceramah, beberapa hal berikut menjadi sesuatu yang harus diperhatikan:
a. Tampil Mengesankan.
Meskipun dalam dakwah kita menuntut jamaah untuk menggunakan prinsip “perhatikan apa yang dibicarakan, jangan perhartikan siapa yang berbicara”, namun penampilan yang mengesankan tetap diperlukan. misalnya menggunakan pakaian yang pantas, wajah yang ceria, pandangan mata yang ramah dan tutur kata yang baik. Daya tarik dari sisi ini merupakan sesuatu yang sangat penting, sebab bagaimana mungkin ceramah kita akan didengar jamaah bila mereka sudah tidak tertarik dengan penampilan kita.
b. Menguasai Forum.
Sebelum ceramah dimulai, seorang penceramah terlebih dahulu harus menguasai dirinya sendiri agar tidak gugup atau tidak grogi. Jika ia telah menguasai dirinya sendiri, insya Allah ia akan mudah menguasi forum. Untuk bisa menguasai forum, seorang penceramah perlu menatap seluruh sudut ruangan atau dengan kata lain; menatap semua jamaah yang hadir, mencoba pengeras suara dan memperbaiki posisinya agar betul-betul tepat dengan posisi mulut dan jika diperlukan bertanya kepada hadirin, apakah ceramah bisa dimulai atau belum.
c. Jangan Menyimpang.
Selama ceramah berlangsung, penceramah harus tetap berpijak pada tema yang sudah disiapkan, jangan sampai melebar terlalu jauh dengan membahas hal-hal yang tidak direncanakan untuk dibahas. Karena itu penceramah harus dapat mengontrol diri jangan sampai uraian satu sub bahasan terlalu melebar dan menyita waktu sementara sub lainnya hanya berlangsung sangat singkat apalagi kalau sub tema yang dijanjikan mau dibahas sampai tidak terbahas dan hanya disebutkan saja karena waktunya hampir habis, sementara panitia memberi kertas peringatan bahwa waktu hampir habis.
Banyak sekali penceramah yang menyimpang dari tema pembahasan yang dijanjikan, apa saja yang diingatnya dibahas, bahkan komentar atau respon jamaahnya dibahas panjang lebar sehingga terkesan banyak tema yang dibahasnya, itulah ceramah dengan banyak judul dan ini harus dihindari, karena ibarat orang memotret, pemotretannya tidak fokus sehingga tidak jelas wajah orang yang dipotretnya itu.
d. Gaya Yang Orisinil.
Penceramah sebaiknya menggunakan gayanya sendiri. Jangan meniru gaya orang lain. Hal ini akan mempermudah ceramahnya, sekaligus dapat menjaga wibawanya..Memang ada muballigh cilik yang meniru gaya muballigh kondang berceramah, namun kehadiran jamaah dalam jumlah yang banyak lebih terkesan hendak menonton ia berceramah ketimbang mau mendengarkan nasihat-nasihatnya.
e. Bersikap Sederajat.
Terutama kepada jamaah yang dewasa dan intelek, sebaiknya bersikap sederajat, jangan terlalu menggurui. Karena itu dalam menyampaikan pesan, gunakanlah istilah “kita” bukan “anda”, apalagi “kalian”. Contohnya: “sebagai muslim yang sejati, kita seharusnya dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan kita berusaha untuk rajin membacanya”. Kalimat seperti ini adalah kalimat yang bisa diterima oleh semua pihak yang hadir atau yang mendengarkannya. Adapun kalimat yang menggurui contohnya adalah: “sebagai muslim yang sejati, anda seharusnya dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan anda harus berusaha untuk rajin membacanya”
f. Mengatur Intonasi.
Ceramah yang menarik adalah ceramah yang nadanya naik turun. Tidak datar terus atau tidak tinggi terus menerus, apalagi bila dalam ceramah berkisah tentang dua orang yang berdialog, tentu harus dapat dibedakan suara antara tokoh yang satu dengan yang lain,
g. Mengatur Tempo.
Dalam memberikan cerqamah, seorang penceramah hendaknya dalap mengatur tempo pembicaraan sehingga antar kalimat yang satu dengan kalimat berikutnya diberikan jarak. Dari sini seorang penceramah tidak berbicara terlalu cepat atau terlalu lambat. Ibarat membaca, perhatikan tanda-tanda bacanya, ada titik dan koma yang harus diperhatikan.
h. Memberi Tekanan.
Dalam ceramah seringkali ada kalimat-kalimat yang amat penting untuk dipertegas kepada pendengar. Kalimat itu harus diberi tekanan dengan cara mengulang-ulang, karena dengan begitu jamaah mendapat kejelasan yang memadai, bahkan hal ini bisa dibantu dengan menggunakan gerakan tangan seperti menunjukkan atau memperlihatkan jumlah jari sebagai isyarat dari jumlah masalah yang menjadi pembahasan. Ini berarti diperlukan penggunaan bahasa badan untuk memperjelas, memudahkan pemahaman dan meningkatkan daya tarik ceramah agar lebih komunikatif.
i . Memelihara Kontak Dengan Jamaah..
Ceramah yang sudah berlangsung lebih dari 30 menit, biasanya melelahkan jamaah, karena itu kontak dengan jamaah jangan sampai terputus, misalnya dengan bertanya, memberi humor yang segar dan relevan (kecuali dalam khutbah Jum’at tidak ada humor) dll.
j. Pengembangan Bahasan
Untuk menambah daya tarik dalam pembahasan, diperlukan pengembangan bahasan, antara lain: Pertama, penjelasan, yakni keterangan tambahan yang sederhana dan tidak terlalu rinci, misalnya dengan mengatakan: “Sebagai muslim kita tentu sudah tahu tentang taqwa, yakni melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga. Seseorang tidak disebut bertaqwa bila ia melaksanakan perintah Allah tapi juga melaksanakan larangan-Nya, seseorang juga tidak bisa disebut bertaqwa bila ia meninggalkan larangan Allah tapi juga meninggalkan perintah-perintah-Nya”.
Kedua, memberikan contoh yang relevan dengan pembahasan sehingga masalah yang dibahas akan menjadi tambah jelas dan konkrit, misalnya dengan mengatakan: “Karena para sahabat ingin menunjukkan ketaqwaannya kepada Allah, maka ketika Allah mengharamkan minuman keras, mereka membuang minuman keras itu dari dalam rumah mereka ke jalan-jalan sehingga jalan-jalan di kota Madinah menjadi becek”.
Ketiga, memberikan analogi, yakni perbandingan antara dua hal, baik untuk menunjukkan persamaan maupun perbedaan, misalnya dengan mengatakan: “orang yang beriman itu akan bergetar hatinya bila disebut nama Allah, karena Allah sangat dicintainya, sama seperti ada orang yang kita cintai lalu disebut namanya dalam pembicaraan orang lain, maka perhatian kita sangat besar terhadap pembicaraan orang itu dalam kaitan dengan nama orang yang kita cintai, ada perhatian yang besar ketika nama Allah disebut, maka ketika nama Allah disebut dalam azan, seorang mu’min akan segera menunaikan shalat guna menunjukkan getaran hatinya”.
Keempat, memberikan testimoni, yakni mengutip, baik ayat, hadits, kata mutiara, keterangan para ahli, tulisan di buku, Koran maupun majalah dan bulletin. Dengan kutipan yang jelas, materi ceramah yang kita sampaikan menjadi tidak perlu diragukan kebenarannya.
Kelima, statistik, yakni mengemukakan pembahasan dengan membeberkan angka-angka untuk menunjukkan perbandingan suatu kasus, misanya untuk mengemukakan akhlak masyarakat kita yang semakin rusak, kasus pencurian yang terjadi tahun 2002 lebih banyak dari yang terjadi pada tahun 2001, begitulah seterusnya.
k. Memberi kesimpulan.
Bila diperlukan, penceramah dapat memberikan kesimpulan dari uraiannya, lalu lanjutkan dengan kalimat penutup. Kesimpulan bisa dengan mengungkapkan beberapa masalah yang sudah dibahas, bisa juga dengan menyampaikan pesan-pesan inti dari isi ceramah yang kita maksudkan, sesudah itu akhiri ceramah dengan menyampaikan permohonan maaf dan memberi salam, ini berarti jangan sampai ceramah diperpanjang lagi padahal sudah saatnya untuk diakhiri.
3. Langkah-Langkah Sesudah Ceramah
Meskipun ceramah sudah berlangusng dengan baik menurut sang penceramah, bukan berarti tugasnya sudah selesai, ada beberapa hal yang harus dilakukan: Pertama, Turun dari podium dan berjalan dengan tenang menuju tempat duduk semula. Kedua, kalau perlu mencari informasi tentang respon jamaah terhadap kemampuan dan isi ceramah, namun hal ini harus dilakukan sehati-hati mungkin agar tidak terkesan kita ingin mencari pujian, padahal sebenarnya kita perlu masukan dan evaluasi. Ketiga, mengevaluasi sendiri ceramah yang sudah disampaikan, misalnuya dengan mendengarkan kembali rekaman ceramahnya.
Demikianlah secara umum bagaimana berceramah yang baik. Bagi yang ingin pandai berceramah tentu saja harus banyak berlatih, baik sendiri atau bersama-sama. Untuk memudahkan mengeluarkan kata-kata yang baik tentu harus memiliki banyak perbendaharaan kata-kata, dan hal itu dapat diperoleh baik melalui banyak membaca maupun banyak mendengar ceramah orang lain.